JAKARTA, (Panjimas.com) – Sudah sejak lama, bahkan sudah berabad-abad, para Ulama dan para Ahli Medis di seluruh dunia meyakini dan menyatakan bahwasanya LGBT adalah gangguan jiwa.
Pernyataan itulah yang disampaikan oleh Imam Besar FPI Habieb Rizieq dilaman pribadinya Jumat, (19/2/2016).
Namun, belakangan para Ahli Medis di berbagai negara terjebak dalam program LGBT yang diluncurkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga mereka mulai berubah sikap, termasuk di Indonesia.
Ahli saraf, dr Roslan Yusni Hasan, SpBS, mengungkapkan, lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) bukan suatu kelainan atau penyakit. Sehingga tidak ada yang perlu disembuhkan atau diobati
Bakat seseorang menjadi LGBT sebenarnya sudah terbentuk sejak seseorang menjadi janin di dalam kandungan.
Habieb Rizieq melanjutkan, terbentuknya jenis kelamin, jender, dan orientasi seksual merupakan proses yang terpisah, meski saling berkaitan. Hal ini menyebabkan ada orang dengan jenis kelamin laki-laki, tetapi jendernya belum tentu maskulin, dan orientasi seksualnya belum tentu ke perempuan. LGBT pun memiliki variasi struktur otak yang berbeda-beda dan sulit untuk diubah.
Menanggapi hal tersebut, Ahli Neuropsychology, Ihshan Gumilar, mengatakan bahwa pendapat dr Ryu Hasan tersebut sangat naif dan tidak berdasarkan pemikiran yang mendalam dan komprehensif dengan mempertimbangkan penelitian yang mutakhir.
Ia menjelaskan bahwa cara kerja sistem syaraf otak amatlah rumit. Perbedaan struktur maupun fungsi otak bisa berubah karena adanya sebuah pengalaman yang terus-menerus dilakukan. Adanya perbedaan struktur dan fungsi otak para LGBT bisa disebabkan karena lingkungan dan kebiasaan yang mereka lakukan.
Ia merujuk pendapatnya tersebut dari penelitian mutakhir seorang psikolog Amerika Serikat, William James. Penelitian ini mengungkapkan bahwa otak bisa merubah dirinya sendiri. Otak tak ubahnya seperti plastik yang bisa berubah bentuk dan sangat fleksibel. Penyebab perubahan tersebut adalah perilaku dan pengalaman seseorang.
Pemikiran, perasaan, orientasi seksual, persepsi, termasuk sensasi fisik yang dibayangkan, akan mengaktifkan ribuan syaraf secara bersamaan. Ketika sebuah pemikiran ataupun perasaan tersebut diulang terus menerus, maka ribuan syaraf tersebut akan membentuk dan menguatkan jaringan sistem syaraf yang unik untuk pemikiran atau perasaan tersebut.
Memberikan sebuah pernyataan bahwa LGBT adalah sebuah variasi dalam kehidupan manusia dan dibungkus atas nama ilmu pengetahuan adalah sebuah pelacuran intelektualitas dan pembodohan terhadap masyarakat awam yang tak mengenal sulitnya mempelajari otak manusia.
Kementerian Kesehatan RI dan LGBT
Dalam Laporan LGBT Nasional Indonesia disebutkan bahwasanya pada tahun 1983, Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan RI dalam “Pedoman Diagnosa dan Klasifikasi Gangguan Jiwa” mulai mengklasifikasikan LGBT menjadi dua, yaitu :
- Homoseksualitas ego-distonik : yaitu LGBT yang menentang dan tidak menerima orientasi seksualitas LGBT nya.
- Homoseksualitas ego-sintonik : yaitu LGBT yang tidak menentang bahkan memerima orientasi seksualitas LGBT nya.
Menurut pedoman tersebut hanya klasifikasi pertama yang termasuk GANGGUAN JIWA, sedang klasifikasi kedua tidak dikatagorikan sebagai GANGGUAN JIWA lagi.
Lucu dan aneh, kok LGBT yang menentang dan melawan orientasi LGBT nya dianggap gangguan jiwa, sedang yang menerima orientasi LGBT nya malah dianggap bukan gangguan jiwa. Padahal, justru yang menentang dan melawan orientasi LGBT nya masih punya kesadaran untuk berjuang keluar dari kungkungan LGBT untuk menjadi manusia normal.
Memang ada-ada saja Kementerian Kesehatan RI, kok terbolak terbalik. Bahkan belakangan ini, Kementerian Kesehatan RI menganggap bahwa LGBT hanya merupakan keragaman seksualitas manusia, sehingga tidak lagi masuk katagori gangguan jiwa.
Padahal, pada mulanya sudah sejak lama Kementerian Kesehatan RI mengkatagorikan LGBT sebagai gangguan jiwa.
Mestinya, Kementerian Kesehatan RI menyedialam Pusat Rehabilitasi Kejiwaan LGBT untuk mengobati semua penderita LGBT, bukan malah membiarkan dan memeliharanya.
Waspadai Tekanan PBB
PBB melalui UNDP terus menekan negara-negara di seluruh Dunia agar menerima LGBT secara resmi, termasuk Indonesia. Berbagai cara akan dilakukan PBB untuk menekan Pemerintah RI agar mengakui LGBT.
Karenanya, jika umat Islam tidak segera merapatkan barisan untuk mendorong Pemerintah RI agar menolak kemauan PBB tersebut, maka bukan tidak mungkin rezim penguasa saat ini akan mengabulkan keinginan PBB terkait LGBT.
Sikap Kementerian Kesehatan RI dalam mendefinisikan LGBT sebagaimana dipaparkan tadi, sudah cukup menjadi bukti dan pelajaran bagi kita semua.[RN]