BEKASI (Panjimas.com) – Gempa Bumi tektonik kuat yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah terjadi pada 27 Mei 2006, kurang lebih pukul 05:55:03WIB selama 57 detik. Gempa Bumi tersebut berkekuatan 5,9 pada skala Richter dan mengakibatkan lebih dari 6000 orang tewas.
Peristiwa tersebut, seyogyanya diambil pelajaran, sebagaimana sikap Umar bin Khattab ketika terjadi gempa di Madinah,
أيها الناس ، ما هذا ؟ ما أسرع ما أحدثتم
Wahai manusia, apa yang kalian lakukan? Betapa cepatnya maksiat yang kalian lakukan.
Namun bagi para waria, bukannya bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, momen bencana tersebut justru menjadikan mereka mempertahankan eksistensinya. Bahkan, dibungkus dengan mendirikan sebuah Pesantren Waria, Al-Fatah. (Baca: Bagaimana Asal Usul Berdirinya Pesantren Waria Al-Fatah di Yogyakarta?)
“Dulu waktu ada gempa tahun 2006 itu kita mengadakan doa bersama, karena waria Jogja ini ada enam orang yang meninggal karena gempa. Waktu utu saya yang bertugas mengundang teman-teman, karena saya sebagai ketua komunitas. Kemudian Bu Maryani yang mencari kiainya,” kisah Shinta saat ditemui Panjimas.com, di Pesantren Waria, yang terletak kampung Celengan, Kotagede Jum’at (5/2/2016).
Menyikapi berdirinya pesantren Waria Al-Fatah, Direktur Pusat Kajian Fiqih dan Ilmu Keislaman (PUSKAFI), Dr Ahmad Zain An-Najah, MA memberikan input kepada para pengelola pesantren.
Menurut Ustadz Zain An Najah, waria yang merupakan bagian dari LGBT adalah sebuah penyakit yang harus disembuhkan.
“Waria itu mahluk yang terkena penyakit atau tidak normal oleh karena itu harus disembuhkan dengan pengobatan-pengobatan. Biasanya waria atau LGBT ini terjangkiti karena pengaruh lingkungan, bukan karena itu ciptaan Allah,” kata Ustadz Zain An Najah kepada Panjimas.com, Jum’at (5/2/2016).
Oleh sebab itu, Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam itu mengimbau agar pesantren waria Al-Fatah lebih tepat dijadikan sebagai rumah sakit atau pusat rehabilitasi bagi waria.
“Jadi pesantren waria itu lebih tepatnya sebenarnya disebut sebagai rumah sakit waria untuk proses penyembuhan, sehingga dirubah waria itu supaya menjadi manusia yang normal kembali, bukan malah dilestarikan,” ujar alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Sehingga, para pengelola termasuk para santri tak perlu repot-repot menyusun kitab fiqih waria. Namun yang lebih bermanfaat justru sebaiknya menyusun buku bagaimana merehabilitasi para waria. (Baca: Begini Fiqih Waria Menurut Direktur Pusat Kajian Fiqih (PUSKAFI))
“Jadi pesantren waria semestinya bukan menyusun kitab fiqih waria, tetapi menyusun kitab bagaimana menyembuhkan orang yang sakit seperti mereka. Karena waria itu orang terkena penyakit kejiwaan,” tandasnya. [AW]