LYON, (Panjimas.com) – Arab Saudi telah mempertimbangkan keputusannya untuk terlibat dalam konflik Suriah selama beberapa waktu. Baru-baru ini Kerajaan Saudi mengirimkan pesawat tempur mereka ke pangkalan militer Turki, Incirlik dan pihak Riyadh telah berulang kali menegaskan bahwa Bashar Al-Assad tidak bisa menjadi bagian dari masa depan Suriah. Kini, Riyadh secara terbuka telah menyatakan bersedia untuk campur tangan dalam pertempuran di konflik Suriah, dilansir oleh Euro News.
Pada hari Ahad (14/02/2016) Menteri Luar Negeri Saudi, Adel Al-Jubeir mengatakan “Haruskah koalisi militer pimpinan AS membuat keputusan untuk mengerahkan pasukan darat ke Suriah, Kerajaan Arab Saudi akan bersiap untuk berpartisipasi dengan mengerahkan pasukan khusus beserta tentaranya.”
Sebuah kesepakatan damai diharapkan dapat disepakati pada akhir pekan lalu di Munich Security Conference, akan tetapi pertemuan itu hanya menyoroti tentang masa depan Suriah yang mana situasinya menjadi kompleks, permainan catur politik yang berisiko tinggi dan kompleks yang melibatkan Amerika, Rusia dan 15 kekuatan Negara lainnya.
Berbicara kepada Euronews, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev mengatakan bahwa “Tak seorang pun menginginkan perang baru. Sebuah operasi darat adalah skala penuh, perang yang panjang; hal ini harus dipertimbangkan.”
Akan tetapi Menteri Luar Negeri AS John Kerry menyuarakan hal yang berbeda: “Ada kemungkinan akan dikerahkannya pasukan darat tambahan di tanah pertempuran melawan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).”
Beberapa hari yang lalu di Munich Security Conference, semua pihak telah berjuang untuk menyangkal adanya iklim “Perang Dingin baru”, tetapi dengan meningkatnya kekerasan di lapangan, intensitas peperangan tampaknya bakal terus meningkat. Meskipun ada perjanjian sejenak untuk menghentikan permusuhan dengan argumen pengiriman bantuan kemanusiaan, namun ada pula kekhawatiran bahwa waktu jeda ini dapat memungkinkan faksi-faksi mujahidin yang bertempur untuk mengkonsolidasikan posisi mereka.
Ketika konflik dimulai 5 tahun lalu, pasukan rezim Syiah Nushairiyah Bashar Al Assad terlibat melawan pasukan Tentara Pembebasan Suriah, Free Syrian Army (FSA). Tapi segera setelah beberapa kelompok lain bergabung dalam pertempuran, di antaranya ISIL (Islamic State of Iraq and Levant) dan pasukan Peshmerga Kurdi.
Pada awalnya, sementara tentara pro Assad dan ISIL bertempur melawan semua faksi pasukan yang ada, milisi Kurdi, dan para faksi Mujahidin lainnya.
Situasi yang sudah sangat rumit menjadi kekacauan geopolitik dengan kedatangan kekuatan besar dan juga kekuatan regional seperti Amerika Serikat, Rusia, Turki, Iran dan Arab Saudi; diantara kekuatan yang lain.
Koalisi pimpinan AS datang bersama-sama secara khusus untuk memerangi Islamic State. Rusia turut campur dalam perang untuk melawan para pasukan mujahidin ; Tapi di lapangan faktanya, masing-masing pihak sedang mengejar agenda-agenda mereka sendiri.
Sekutu Suriah, Rusia telah mengatakan pada dasarnya bahwa mereka telah membombardir posisi-posisi pasukan mujahidin Suriah. Serangan-serangan udara Rusia berupaya menyokong rezim Assad untuk merebut kembali daerah-daerah vital, seperti Aleppo, kota terbesar kedua di negara itu.
Untuk bagiannya, Turki telah menghantam dan menyerang daerah-daerah yang dikuasai oleh pasukan Peshmerga Kurdi, yang mana Kurdi dianggap AS sebagai sekutu penting melawan ISIL. Sekarang ini dengan situasi dimana beberapa bagian terbuka membahas upaya menempatkan pasukan Turki dan Suriah berhadap-hadapan di medan tempur, dan tampaknya kekerasan akan lebih menyebar dan meluas dan sulit dihentikan. [IZ]