MOSCOW, (Panjimas.com) – Situasi Ukraina Timur yang memanas diikuti dengan semakin intensifnya lonjakan kekerasan yang terjadi, mendorong milisi pemberontak yang disokong Rusia memindahkan persenjataan artileri berat mereka kembali ke garis depan. Hari Sabtu (13/02/2016) pemantau internasional memperingatkan bahwa Moskow merespon situasi ini dengan menuduh pihak Barat telah menyeret dunia kembali ke masa 50 tahun lalu, dunia menuju perang dingin baru (new cold war), tegas PM Rusia Dmitry Medvedev, sebagaimana dilansir oleh Reuters.
Perdana Menteri Rusia, Dmitry Medvedev menjelaskan hubungan Timur dan Barat kini telah “jatuh ke dalam Perang Dingin baru” dan mengatakan bahwa NATO memiliki sikap “bermusuhan dan tertutup” terhadap Rusia, ini tampak pada pertanda terbaru bahwa upaya perdamaian tak cukup membuat kemajuan hampir dua tahun lamanya sejak Moskow meng-aneksasi wilayah Crimea .
“Saya kadang bertanya-tanya apakah kita pada tahun 2016 atau 1962?” PM Medvedev mengatakan dalam pidatonya pada Konferensi Keamanan Munich baru-baru ini.
Implementasi dari kesepakatan yang disepakati di Minsk tahun lalu, yang akan memungkinkan untuk pencabutan sanksi terhadap Rusia, dan juga situasi ketenangan akhir tahun lalu menimbulkan harapan bahwa konflik yang telah menewaskan lebih dari 9.000 orang bisa diselesaikan dengan cepat.
Akan tetapi Lamberto Zannier, yang mengepalai Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE), Organisation for Security and Co-operation in Europe, yang melakukan pemantauan di wilayah timur Ukraina (Krimea), mengatakan bahwa situasi telah “menjadi sulit kembali.”
“Kami melihat berkali-kali terjadi insiden, pelanggaran gencatan senjata,” katanya kepada Reuters pada Konferensi Keamanan Munich. “Kami telah melihat kasus pemindahan persenjataan artileri berat ke posisi yang lebih dekat dengan garis kontak … dan peluncur roket, artileri yang digunakan,” katanya, mengacu pada persenjataan berat yang dimaksudkan harus dihilangkan di bawah kesepakatan Minsk.
Medvedev menuduh kubu Kiev mencoba untuk menggeser upaya untuk menyalahkan pihak Moskow pada insiden penembakan yang terus berlanjut di wilayah industri timur Ukraina, yang sekarang berada di bawah kendali milisi pemberontak.
“Perjanjian Minsk harus diamati oleh semua orang. Tapi kami percaya bahwa itu pertama dan terutama ditujukan untuk pihak berwenang Kiev agar menerapkannya ,” katanya.
Pihak Barat mengatakan bahwa mereka memiliki citra satelit, video dan bukti-bukti lain untuk menunjukkan bahwa Rusia menyediakan senjata kepada pasukan milisi pemberontak dan bahwa pihak Moskow memiliki tentara yang terlibat dalam konflik yang meletus setelah aneksasi Rusia terhadap wilayah Krimea milik Ukraina pada tahun 2014.
Namun, pihak Rusia membantah tuduhan-tuduhan tersebut.
Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu, NATO, Jenderal Philip Breedlove mengatakan bahwa Rusia memiliki kekuatan untuk “dial up dan down” (memicu situasi) konflik karena ingin menekan pemerintah di Kiev akan tetapi Jenderal Philip mengatakan bahwa NATO tidak menginginkan, maupun melihat bahwa situasi kini, menuju Perang Dingin baru.
Amnesti
Diperpanjang pada akhir tahun lalu, kesepakatan damai Minsk ditandatangani oleh Rusia, Ukraina, Perancis dan Jerman bertujuan untuk memberikan Ukraina kembali kendali atas wilayah perbatasannya dengan Rusia, melihat semua senjata berat ditarik kembali, mengembalikan para sandera dan memungkinkan adanya pemilihan lokal yang dipantau oleh pihak internasional di timur Ukraina.
Zannier mengatakan bahwa pemilihan suara tidak dapat terjadi sampai ada gencatan senjata dan bahkan kemudian akan sulit untuk dilakukan pada pertengahan tahun ini karena pengamat internasional perlu berada disana.
Medvedev menekankan bahwa dengan mengatakan Ukraina, bukanlah Rusia, adalah melanggar kesepakatan Minsk karena Kiev belum mengubah konstitusi Ukraina untuk memberikan status khusus ke wilayah Krimea.
Rusia menginginkan amnesti bagi penduduk terutama yang berbahasa Rusia di wilayah Krimea yang sebelumnya telah merebut gedung-gedung pemerintah selama pergolakan di awal 2014, ketika para demonstran pro-Eropa menggulingkan Presiden Ukrainian yang yang didukung Rusia, Viktor Yanukovich.
“Tanpa amnesti ini, orang-orang yang berbahasa Rusia ini tidak akan dapat berpartisipasi dalam pemilu,” kata Medvedev.
Pihak Kiev, yang didukung Barat, mengakui pemerintahan Presiden Petro Poroshenko harus mempercepat reformasi, terutama yang terkait dengan bantuan Dana bailout senilai $ 10 miliar dolar dari IMF, tetapi mengatakan bahwa Rusia harus menghormati kedaulatan Ukraina.
“Baik orang Ukraina maupun mitra mereka dalam komunitas internasional meyakini bahwa mereka telah melakukan upaya-upaya yang cukup,” kata Menteri Luar Negeri AS , John Kerry. [IZ]