BANGKOK, (Panjimas.com) – Baru-baru ini sebuah laporan LSM yang mengungkapkan tentang penyiksaan atas Muslim Thailand dirilis ke publik pada hari Rabu (10/02/2016), sebagaimana dilansir oleh Anadolu Agency.
Laporan tersebut menyebutkan tentang tindakan penyiksaan terhadap tersangka yang tersebar luas dan dilakukan secara sistematis oleh pasukan keamanan Thailand di wilayah selatan dimana mayoritas Muslim Pattani bermukim. Tindakan penyikasaan ini telah merusak kepercayaan atas sistem hukum dan keadilan di Thailand.
Dalam dokumen setebal 12 halaman itu, kelompok Duay Jai dan Yayasan Lintas Budaya, sebuah jaringan Organisasi Hak Asasi Manusia di Provinsi mayoritas Muslim Pattani, bagian selatan Thailand, menyebutkan penggunaan tindakan penyiksaan untuk memaksa tersangka member pengakuan secara sistematis, menggarisbawahi bahwa hal itu adalah dilakukan secara luas dan disengaja.
Dalam dokumen 12-halaman yang dirilis Rabu, kelompok Duay Jai dan Yayasan Lintas Budaya, Jaringan Organisasi Hak Asasi Manusia di provinsi mayoritas Muslim selatan Pattani, disebut penggunaan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan di daerah “sistematis”, menggarisbawahi bahwa itu adalah “biasa, luas dan disengaja”.
Duay Jai menekankan bahwa “Meskipun banyaknya keluhan dan komplain oleh para kerabat dan korban serta kampanye oleh organisasi hak asasi manusia lokal dan internasional, Pemerintah Thailand belum mencoba untuk memecahkan masalah ini dan tidak mengambil sanksi terhadap pejabat-pejabat yang terlibat dalam tindakan salah,”.
Penelitian untuk laporan yang berjudul “Situasi Penyiksaan tidak Manusiawi, Kejam , dan Perlakuan Merendahkan di Provinsi Wilayah Selatan Perbatasan”, (Torture Situation and Inhumane, Cruel and Degrading Treatments in Southern Bordering provinces )- didasarkan pada wawancara dengan 54 korban penyiksaan oleh pasukan keamanan Thailand antara tahun 2004 hingga 2015.
Ini menunjukkan peningkatan tajam dalam kasus penyiksaan sejak 2014, tahun yang sama saat militer Thailand menggulingkan pemerintah terpilih Yingluck Shinawatra dalam sebuah kudeta (coup d’etat) untuk merebut kekuasaan.
Menurut laporan itu, ada 17 kasus dugaan penyiksaan pada tahun 2014 dan 15 kasus pada tahun 2015, dibandingkan dengan 7 kasus pada 2013 dan 0 kasus pada tahun 2012 – insiden-insiden ini terjadi pada saat penangkapan, juga selama proses transportasi ke kamp militer dan selama penahanan di kamp tahanan militer.
Di antara kasus yang tercatat, seorang yang tidak disebutkan namanya berusia 29 tahun mantan tahanan – kelompok Duay Jai tidak memberitahukan identitasnya untuk keselamatannya sendiri – mengatakan bahwa ia berulang kali dipukuli selama 28 hari penahanannya di kamp militer Inkayuth di Pattani.
“Sekitar 10 penjaga paramiliter menampar wajah saya, menendang perut saya dan memukul punggung saya dengan tinju-tinju mereka. Mereka [paramiliter] mengkalungkan kawat listrik di leher saya sebagai alternatif untuk mencekik saya dan melepaskan tekanan itu berulang kali, “katanya kepada peneliti LSM.
“Setelah itu, mereka menempatkan saya di sebuah ruangan yang sangat dingin dan meninggalkan saya di sana selama 5 hari. Saya tidak bisa beribadah Shalat karena tidak ada air untuk wudhu dan ruangan itu terlalu kecil, “tambahnya, ini mengacu pada proses wudhu yang diperlukan sebelum melakuakan ibadah Shalat.
Tahanan yang tidak disebutkan namanya itu juga mengatakan bahwa pada akhir penahanan, ia telah dipaksa menandatangani “dokumen”.
“Akhirnya, saya menandatangani itu karena pejabat memukuli saya di seluruh tubuh, bahkan mengancam akan menyakiti istri dan orang tua saya dan membakar rumah saya,” katanya.
Laporan ini juga menggarisbawahi bahwa perilaku penyiksaan oleh pasukan keamanan tersebut telah merusak kepercayaan penduduk setempat atas sistem Peradilan Thailand, dan dapat mendorong – bukan malah meredam – pemberontakan.
“Penyiksaan ini menghancurkan kepercayaan atas struktur negara, baik dalam penerimaan terhadap pemerintahan dan kepercayaan terhadap sistem hukum dan keadilan,” katanya.
“Pada akhirnya, para tersangka bisa terpikat bergabung dengan gerakan perjuangan kemerdekaan.”
Bereaksi terhadap rilis laporan itu, juru bicara Komando Operasi Keamanan Internal – Badan Keamanan Domestik Utama Thailand – mengatakan kepada situs berita Khaosod bahwa itu adalah “isapan jempol lain dari imajinasi penulis ‘”.
Kolonel Pramote Promin menuduh salah satu penulis – Pornphen Khongkachonkiet, Direktur Yayasan Lintas Budaya – bertujuan “untuk mendiskreditkan tentara dan negara”.
Sebuah laporan sebelumnya yang dirilis 2 Februari oleh Muslim Attorney Center Foundation (Yayasan Pusat Pengacara Muslim) yang berbasis di Pattani menyebutkan terjadinya pelanggaran serupa oleh pihak militer, dan laporan ini juga dibantah oleh otoritas Thailand dengan argument yang sama.
Hingga kini belum ada pihak militer Thailand, paramiliter ataupun petugas polisi yang pernah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Pidana terkait kasus dugaan penyiksaan.
Yang paling dekat dengan itu adalah dikenakannya sanksi atas kasus Ashari Sama-ae, berusia 25 tahun, yang meninggal dalam tahanan (ia ditahan tanpa tuntutan peradilan) pada tahun 2007.
Bulan Agustus lalu, Mahkamah Agung Negara memerintahkan pemerintah untuk membayar $ 28.000 dolar sebagai kompensasi keuangan kepada ibunya.
Pemberontakan di wilayah selatan berakar mendalam karena konflik etnis budaya berabad-abad lamanya antara Muslim Melayu yang tinggal di wilayah selatan dan pemerintah pusat Thailand dimana ajaran Buddhisme dianggap sebagai agama nasional secara de-facto.
Kelompok-kelompok bersenjata dibentuk pada tahun 1960 setelah kediktatoran militer Thailand mencoba mengganggu dan mengintervensi sekolah-sekolah Islam, namun pemberontakan itu memudar pada 1990-an.
Pada tahun 2004, sebuah gerakan bersenjata kembali dihidupkan – terdiri dari banyak sel-sel lokal para pejuang Muslim yang dikelompokkan dengan sebutan National Revolutionary Front (Front Revolusioner Nasional) muncul.
Konfrontasi terjadi antara kelompok Islam dan Pemerintah Budhist Thailand, yang dilaporkan telah menewaskan 6.400 jiwa dan melukai lebih dari 11.000 orang sejak tahun 2004, insiden ini merupakan salah satu konflik dengan kategori intensitas rendah yang paling mematikan di dunia. [IZ]