PHNOM PENH, (Panjimas.com) – Seorang saksi dalam proses Pengadilan Kamboja atas Tentara Komunis Khmer Merah baru-baru ini telah menegaskan masalah-masalah yang dialami masyarakat Muslim Cham di negara itu, bahwa Muslim Cham telah menghadapi masalah trauma mendalam dan depresi berat akibat pemusnahan, keluarga, tetangga, pemimpin dan para generasi terdidik muslim Cham, menyusul pembantaian atas ratusan ribu jiwa oleh komunis Khmer Merah pada periode 1970-an.
Seperti dilansir oleh Anadolu Agency, Ysa Osman, seorang peneliti Muslim Cham, yang juga berprofesi sebagai analis dan penulis mengatakan pada hari Rabu (10/02/2016) bahwa mereka yang menjadi saksi pembunuhan keluarga dan tetangga mereka ” mengalami trauma dan depresi berat, bahkan perasaan seperti ini tetap mereka rasakan hari ini”.
“Tidak ada lagi Pemimpin yang berpendidikan. Setelah mereka dibantai … tidak ada guru agama, dan anak-anak menjadi buta akan ilmu agama dan studi Islam, dan hal itu tetap hingga kini, “katanya, setelah dirinya bersaksi selama interogasi oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Phnom Penh, Kamboja.
Selama kesaksiannya, Osman mendasarkan atas ingatan beberapa saksi Muslim Cham yang telah bersaksi dalam Kasus 002/02, dimana mantan Khmer Merah, Pemimpin Negara, Khieu Samphan dan saudara ke-duanya, Nuon Chea didakwa atas genosida (pembantaian massal).
Sebagai “saksi ahli”, ia (Ysa Osman) berbicara secara lebih luas tentang cerita-cerita Muslim Cham di Kamboja, dari asal-usulnya di wilayah Champa di Vietnam selatan hingga soal penghancuran Muslim Cham dibawah rezim ultra-Maois, Khmer merah, dan perjuangan mereka untuk mendapatkan kembali kejayaan mereka saat ini.
Osman mengatakan bahwa, sementara ini ia belum melihat dokumen spesifik yang menguraikan tentang pemusnahan Muslim Kamboja, mencatat berdasar dari lebih dari 200 korban yang selamat dan para pelaku yang merupakan dasar bagi banyak penelitiannya, termasuk wawancara dengan orang-orang yang telah melihat bukti-bukti perintah pemusnahan tersebut.
Itu setelah pemberontakan yang dipimpin Cham pada tahun 1975 – tahun yang sama dengan saat Khmer Merah berkuasa di Kamboja – bahwa pembantaian masyarakat Muslim saat itu mulai digalakkan, kata Osman.
“Kebijakan pemusnahan total terjadi setelah pemberontakan,” katanya kepada Pengadilan, dengan saat Muslim Cham yang kembali ke Svay Khleang – wilayah di mana pemberontakan digerakkan – kemudian mereka “dikumpulkan, ditangkapi dan dibunuh”.
“Pembunuhan itu terjadi tanpa pandang bulu; apakah mereka adalah perempuan, anak-anak atau bahkan jika mereka setuju untuk makan daging babi atau mereka tidak lagi bisa berbicara bahasa Cham … jika mereka Muslim Cham berdarah campuran, mereka pun tak luput dari pembantaian. Mereka dibawa pergi lalu dibunuh. ”
Osman mengatakan bahwa dirinya terus diganggu oleh ketidakmampuannya untuk secara tepat menjelaskan mengapa hal itu dapat terjadi, tepatnya, Komunis Khmer Merah maju untuk memusnahkan para penduduk Muslim – terutama ketika mereka sudah memaksa mereka (Muslim Cham) untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan Islam mereka, pakaian muslim, bahasa dan ibadah puasa mereka.
“Bahkan jika ada diantara mereka yang terpaksa beradaptasi untuk hidup dengan cara yang rezim komunis [Khmer Merah] inginkan, dan mereka masih juga dibunuh,” kata Osman, menambahkan bahwa ia – sendiri – akan mati tanpa bisa mengerti, karena ia tidak bisa menemukan jawaban mengapa pembantaian atas Muslim terjadi.
Kehancuran berikutnya bagi masyarakat Cham di Kamboja sangat signifikan, katanya, ia memperkirakan bahwa sekitar 200.000 selamat dari pembantaian dan hingga 500.000 tewas.
Namun, dia menggarisbawahi bahwa kerusakan akibat pembantaian rezim komunis itu bahkan melampaui dari hilangnya nyawa semata.
Mereka kehilangan pemimpin terdidik, guru-guru agama, ustad yang membuat generasi selanjutnya hingga anak-anak mereka buta akan agama dan studi Islam.
“Anda bisa melihat ada perkembangan yang luar biasa atau kemajuan dalam komunitas Muslim Cham dan akibatnya hanya ada sedikit Pemimpin agama, dan itu adalah hasil pembantaian dari rezim komunis Khmer Merah,” katanya.
“Jika mereka (Khmer) tidak membunuh mereka (Muslim), masyarakat Muslim Cham akan berada dalam bentuk yang jauh lebih baik dan diakui oleh dunia,” ia menekankan. [IZ]