TUNIS, (Panjimas.com) – Presiden Tunisia, Beji Caid Essebsi pada hari Kamis (04/02/2016) memperingatkan konsekuensi-konsekuensi dari setiap aksi intervensi militer di Libya, lebih lanjut Essebsi menekankan perlunya negara-negara seperti AS dan Perancis mempertimbangkan tindakan tersebut dan berkonsultasi dengan Tunisia serta negara-negara tetangga lainnya, demikian pernyataan resmi Presiden Tunisa itu.
Beji Caid Essebsi sebelumnya telah membuat pernyataan dalam pertemuan dengan para Kepala misi diplomatik dan perwakilan organisasi regional dan internasional yang diadakan di Tunis untuk merayakan Tahun Baru.
“Presiden Republik ini telah menunjuk keunikan situasi Tunisia, bahwa mereka bertetangga dengan Libya, yang telah menjadi tempat berkembangnya sel-sel dan basis bagi Islamic State (IS),” kata pernyataan itu.
Presiden Essebsi menekankan bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik Libya adalah melalui kesatuan politik antar-Libya. Masyarakat internasional harus mendukung upaya bersatunya pemerintahan , ujarnya, seperti dilansir Middle East Monitor.
Meskipun Libya dalam situasi yang pelik, Essebsi mengatakan bahwa Tunisia “tidak akan menutup perbatasannya untuk saudaranya, Libya”.
Laporan-laporan media menunjukkan bahwa intervensi militer di Libya yang direncanakan oleh koalisi internasional dapat terjadi dalam waktu dekat.
Namun, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry mengesampingkan intervensi militer di Libya dalam waktu dekat, ujarnya hari Selasa (02/02/2016).
Walaupun sebelumnya Menteri Luar Negeri Perancis mengatakan bahwa pihaknya tidak memiliki niat melakukan aksi militer di Libya, baru-baru ini pada hari Rabu (03/02/2016) Pemerintah Perancis mengatakan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan operasi militer memerangi Islamic State (IS) di Libya agar kondisi Libya yang sesuai terpenuhi, dilansir oleh Anadolu.
Juru bicara Otoritas Prancis, Stephane Le Foll mengatakan bahwa kondisi yang diperlukan adalah pembentukan pemerintah Libya di ibukota Tripoli, permintaan berikutnya adalah operasi militer oleh Perancis, seperti operasi militer Perancis yang terjadi di Mali, dan adanya resolusi internasional untuk intervensi tersebut.
Media di Perancis telah mengatakan baru-baru bahwa Islamic State (IS) telah berusaha untuk mengontrol pasokan minyak Libya.
Islamic State (IS) dilaporkan juga telah membangun kekuatannya secara bertahap dan kontinyu di Libya, terutama dengan strategi perekrutan anggota baru dari wilayah Afrika Utara.
PBB meyakini bahwa Islamic State (IS) memiliki antara 2.000 hingga 3.000 pejuang mujahidin di Libya.
Menurut laporan Anadolu, Prancis belum melakukan operasi militer di Libya, tetapi mereka telah melakukan beberapa operasi pengintaian, intelijen dan survey awal kondisi di daerah perbatasan dari pangkalan militer di Nigeria. [IZ]