DUSHANBE, (Panjimas.com) – Polisi di Tajikistan mencukur jenggot hampir 13.000 pria dan memaksa lebih dari 1.770 Muslimah untuk berhenti memakai jilbab pada tahun lalu dengan membela tindakan intolerannya atas upaya melawan ‘pengaruh asing’, demikian dilansir oleh The Independent.
Pada konferensi pers hari Rabu (20/01/2016) pekan lalu, lembaga pelayanan advokasi penegakan hukum khusus Negara Asia tengah mayoritas Muslim mengungkapkan bahwa jenggot di wajah dari 12.818 pria telah dicukur paksa dengan alasan “terlalu panjang dan berantakan”, menurut situs berita Radio Liberty.
Bahrom Sharifzoda, Kepala Kepolisian wilayah Khatlon, juga mengumumkan bahwa para pejabat telah menutup 162 toko yang menjual pakaian-pakaian Muslim tradisional, termasuk diantaranya yang menjual jilbab-jibab muslimah.
Langkah-langkah otoritas Tajikistan ini adalah upaya dari kepemimpinan sekuler melawan hantu “radikalisme” dan “tradisi tidak diinginkan dari Negara tetangganya, yakni Negara Muslim Afghanistan”, mengutip Aljazeera.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, Parlemen Tajikistan telah memutuskan untuk melarang nama-nama asing yang berbau “Arab” serta pernikahan antara sepupu dalam suatu keluarga , sementara itu Mahkamah Agung Tajikistan juga melarang Partai Islam satu-satunya di Negara itu, yakni Islamic Renaissance Party of Tajikistan, Partai Renaissans Islam Tajikistan.
“Mereka menyebut saya Salafi, radikal, musuh publik. Dan kemudian 2 dari mereka memegang tangan saya sementara yang 1 lagi mencukur setengah dari jenggot saya.”
Djovid Akramov mengatakan bahwa ia dihentikan oleh Polisi Tajikistan diluar rumahnya, bersama dengan anaknya yang berusia 7 tahun, bulan lalu – dan kemudian mereka dibawa ke kantor polisi di Dushanbe di mana ia secara paksa dicukur jenggotnya, seperti dilansir oleh BBC.
Akramov menjadi salah satu dari ratusan ribu orang di Tajikistan yang ditangkap dalam beberapa tahun terakhir ini karena memelihara jenggot.
Mencukur jenggot adalah bagian dari kampanye pemerintah sekuler Tajikistan yang menargetkan tren-tren yang dianggap berbau “asing dan tidak konsisten dengan budaya Tajik”.
Awal pekan ini, polisi di wilayah Khatlon Tajikistan mengatakan bahwa mereka telah mencukur jenggot hampir 13.000 pria dengan tuduhan bagian dari “kampanye anti-radikalisasi”.
Mengutip laporan BBC yang berbicara dengan 9 orang korban lainnya yang menggambarkan pengalaman yang sama, Mereka ditahan di jalanan dan dibawa secara paksa ke kantor polisi atau Toko pangkas rambut, di mana mereka kemudian dicukur paksa.
Kampanye pemerintah ini dilakukan dengan dalih melawan hantu radikalisasi, di tengah kekhawatiran bahwa kawasan Asia Tengah mungkin akan mengikuti jalan negara-negara seperti Afghanistan, Irak atau Suriah terhadap ekstremisme.
Selain itu, Perempuan khususnya Muslimah telah diperintahkan untuk memakai warna tradisional Tajik dan itu bukan warna hitam
Diperkirakan pada Juni tahun 2015 lalu bahwa antara 1.500 hingga 4.000 warga Kawasan Asia Tengah bisa jadi telah bergabung dengan kelompok-kelompok Mujahidin Islam yang di Suriah, .
Tindakan pencukuran jenggot paksa ini dipandang sebagai bagian dari kampanye pemerintah sekuler yang lebih luas terhadap penerapan praktek-praktek budaya Islam di masyarakat Tajik, dan juga untuk melestarikan tradisi sekuler.
Menurut data resmi pemerintah, 99% dari populasi Tajik adalah Muslim. Namun, ateisme secara resmi dipelihara selama 70 tahun masa kekuasaan Komunis Soviet.
Dilarang Mengenakan Pakaian Berwarna Hitam
Kampanye melawan praktek-praktek Islam juga mempengaruhi para muslimah di Tajik. Ada larangan resmi mengenakan jilbab di sekolah-sekolah dan universitas, akan tetapi dalam prakteknya diberlakukan di semua lembaga negara.
Polisi mengatakan bahwa selama tahun lalu, mereka telah menutup paksa sekitar 160 toko-toko yang menjual atribut muslimah, seperti jilbab, dll, selain itu Kepolisian Tajik juga telah memaksa 1.773 Muslimah untuk berhenti memakai jilbab.
Mencukur Jenggot merupakan bagian dari kampanye pemerintah sekuler melawan “budaya asing”
Presiden Emomali Rakhmon juga telah memperingatkan warga Tajik: “Jangan menyembah nilai-nilai asing, janganlah mengikuti budaya asing, Kenakan pakaian warna tradisional dan dipotong, tidak berwarna hitam..”
“Bahkan saat peristiwa berkabung, wanita Tajik [harus] memakai seragam putih, tidak hitam,” katanya.
Dan otoritas Tajikistan sebelumnya juga meminta para orang tua untuk memberikan nama-nama tradisional Tajik, bukan nama-nama Arab atau yang terdengar asing bagi anak-anak mereka.
Hal ini belum terlihat jelas apakah kebijakan-kebijakan ini akan berdampak mencegah radikalisme.
Djovid Akramov mengatakan bahwa ia tidak akan melupakan penghinaan yang ia rasakan ketika sedang dicukur paksa di kantor polisi.
“Yang terburuk adalah impunitas (pengabaian hukum) dari polisi, yang sedang menikmati kesempatan ini untuk menggertak orang,” pungkasnya.
Ini adalah jenis perilaku yang dapat mendorong orang untuk menjadi radikal, ujar Akramov.
Presiden Emomali Rahmon, yang telah berkuasa sejak tahun 1992, telah bekerja untuk mempromosikan sekularisme di negeri ini dan telah tampak nyata berupaya mencegah keyakinan dan praktik-praktik nilai-nilai Islam, seperti diketahui Presiden sekuler ini khawatir dan cemas jika kelompok Islam semakin kuat dan berpotensi menyebabkan ketidakstabilan negara.
Pada bulan Desember lalu, Presiden Rahmon dan keluarganya diberikan kekebalan seumur hidup dari penuntutan pengadilan, selain itu Parlemen Tajikistan secara resmi memberinya gelar “Pemimpin Bangsa” dan “Pendiri perdamaian dan persatuan nasional Tajikistan”.
Untuk diketahui, Republik Tajikistan merdeka dari Uni Soviet pada tahun 1991.
Bulan Mei lalu, pasukan keamanan nasional negara itu mengalami kemunduran ketika Kolonel Gulmurod Khalimov, Komandan unit polisi khusus dari Kementerian Dalam Negeri, dilaporkan bergabung dengan kelompok IS (Islamic State). [IZ]