BOYOLALI, (Panjimas.com)- Pada umumnya, eks-Gafatar yang berada di lokasi transit Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, tutup mulut soal ideologi Gerakan fajar Nusantara (Gafatar). Hal ini disampaikan oleh seorang Pegawai Kemensos yang bertugas di sana, Selasa (26/1/2016) malam dalam obrolan dengan Panjimas di serambi masjid setempat.
Pria yang berdinas di Pati, Jateng ini mengatakan bahwa beberapa orang dewasa yang dia tanya, jawaban mereka adalah bahwa Gafatar hanyalah gerakan sosial, dan di Mentawang hanya untuk bertani. Mereka tak mau mengungkap ajaran atau ideologi yang ada di komunitasnya.
“Tapi satu, Mas,” tuturnya, “Saya tadi bertemu dengan satu orang yang berbeda. Dia membeberkan pengalaman spiritualnya dengan sangat menarik. Kemungkinan bapak itu salah satu tokoh sentral di Gafatar.”
Lanjutnya, “Jadi yang saya tangkap, keyakinan yang dia anut itu gabungan antara Qur’an, Injil, dan Taurat. Dan semacam kebatinan gitulah. Dan dia pintar sekali bicara. Maka kalo orang nggak punya pegangan yang kuat, sudahlah, pasti ikut.”
Dan yang yang cukup membuat Panjimas terperangah adalah saat pekerja sosial tadi menceritakan bahwa eks-Gafatar tadi juga menuturkan padanya bahwa asalkan suka sama suka, berhubungan intim dengan bukan pasangan sahnya pun boleh saja.”
Sebelum itu, pada paginya, Panjimas sempat berwawancara dengan salah satu eks-Gafatar asal Bantul, DIY, sebut saja A. Ternyata A mengaku bahwa Gafatar tidak menganut ideologi tertentu. Ia juga mengatakan bahwa Gafatar sudah bubar. Mereka yang eksodus ke Kalimantan menurutnya adalah eks-Gafatar. Demikian jawabnya saat Panjimas menyebut nama Gafatar.
“Gafatar udah bubar, Mas. Kalo yang ke sana itu ya kebanyakan eks-Gafatar-lah. Dulu di Jogja udah bubar, terus mau gimana… ya, mengubah nasiblah,” kisahnya.
Ia mengaku ikut Gafatar sejak 2012, dan mulai tidak aktif lagi awal tahun 2015. “Kalo Gafatar bubarnya lebaran lalu,” imbuhnya.
A mengatakan bahwa Gafatar tidak bicara soal agama, ia tidak mendapatkan pembinaan spiritual di dalamnya. Menurutnya, gafatar hanya gerakan sosial kebudayaan. Langkah eksodus ke Mempawang, Kalimantan Barat hanya untuk bertani, ingin mengubah nasib saja.
Ketika ditanya mengapa kalau sekadar ingin mengubah nasib, mereka sampai meninggalkan keluarga tanpa pamit, ia hanya menjawab tidak tahu. Karena dirinya sendiri mengaku pamit pada keluarganya.
“Ya itu mungkin caranya aja yang salah. Kalo saya pamit, Mas, masih kontak dengan keluarga,” aku lelaki 26 tahun yang berangkat ke Mentawang bertiga dengan istri dan anaknya yang berumur 2,5 tahun.
Ia mengaku berangkat dari Yogya pada 13 Desember 2015, berbekal uang saku hampir 15 juta rupiah dengan tujuan mengubah nasib dengan bertani di sana. Alasannya tanah di sana masih murah. Sebelumnya, A bekerja sebagai karyawan sebuah restoran di Yogya. [IB]