JAKARTA, (Panjimas.com) – Menteri Hukum dan HAM, Yasona H. Laoly mengungkapkan enam poin dalam revisi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan saat ini dalam tahap finalisasi.
“Saat ini (draf revisi UU Terorisme) sudah sinkronisasi dan tinggal finalisasi,” katanya di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (25/1/2016). Demikian dilansir antaranews.
Dia menjelaskan, poin pertama, terkait jangka waktu penahanan terduga teroris, limit waktunya ditambah, dari enam bulan menjadi sepuluh bulan.
Menurut dia, terkait kewenangan penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap terduga teroris berdasarkan bukti permulaan yang cukup, sebelumnya tujuh hari menjadi 30 hari.
“Lalu penyadapan yang sebelumnya berdasarkan izin perintah Ketua Pengadilan Negeri (PN) menjadi hakim pengadilan,” ujarnya.
Kedua menurut dia, penuntutan dan pengusutan tidak hanya kepada orang perorangan namun juga kepada korporasi.
Ketiga, ada perluasan tindak pidana terorisme yaitu kegiatan mempersiapkan, pemufakatan jahat, percobaan terorisme, dan pembantuan tindak pidana terorisme.
“Jadi ini diperluas, termasuk percobaan tindak pidana terorisme,” katanya.
Keempat menurut Yasona, pencabutan paspor bagi Warga Negara Indonesia yang ikut pelatihan militer di luar negeri, termasuk di dalamnya negara atau organisasi-organisasi yang melakukan perbuatan teror.
Dia menjelaskan, kelima, pengawasan terhadap pelaku teror selama enam bulan namun pengawasan terpidana terorisme yang sudah selesai ditindak lanjuti paling lama setahun setelah bebas.
“Hal itu merupkan pengawasan resmi sehingga nanti mantan narapidana teroris perlu dibina dan program deradikalisasi terus berjalan,” katanya.
Keenam, perlu rehabilitasi yang holistik dan komprehensif bagi napi teroris.
Dia memperkirakan proses finalisasi itu selesai dalam satu hingga dua hari lalu dirapatkan di Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan semua stakeholder.
Selanjutnya menurut dia akan disampaikan ke Presiden Joko Widodo untuk dibahas dalam Rapat Kabinet kemudian diajukan Surat Presiden (Surpres) ke DPR.
“Diharapkan teman-teman DPR kita ajak berdiskusi soal ini demi kepentingan negara, tidak ada pelanggaran HAM,” ujarnya.[RN]