SOLO, (Panjimas.com) – Pakar Tata Ruang dan Perencanaan wilayah dari Universitas Sebelas Maret, Ir. Kusumastuti, MURP, memertanyakan soal daya dukung lingkungan bila RS. Siloam yang dilengkapi hotel dan tempat pendidikan jadi berdiri.
“Kalo arsitekturnya, yang penting ada uangnya dan bisa membangun bangunan yang memenuhi standar kekuatan ya nggak masalah. Cuma nanti daya dukung untuk kehidupan di dalamnya apa bisa dipenuhi tanpa menimbulkan kerugian pihak lain? Terutama suply airnya. Kalo tempat pendidikan mungkin tidak seberapa ya, tapi kalo rumah sakit dan hotel kan 24 jam, jadi akan membutuhkan suplai air yang sangat banyak. Standarnya, per hari per orang butuh 200 liter. Lha terus kali berapa? Terus kalo tidak menyedot air tanah, mau dapat dari mana?” selidik alumni Technical Univercity of Novascotia, Canada saat ditemui Panjimas di rumahnya, Jum’at (22/1/2016).
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota FT UNS ini pun menilai komposisi tiga fungsi bangunan tersebut juga memunculkan pertaanyaan. Antara rumah sakit, hotel, dan tempat pendidikan dibangun dalam satu lahan yang tak seberapa luas dan berdampingan dengan permukiman padat penduduk.
“Keterkaitannya di mana, apa nanti ada fakultas kedokterannya? Lalu kok ada hotel segala? Dan itu nanti pastinya masing-masing memikili akses sendiri-sendiri, nggak menyatu, dan nggak mungkin semua lewat depan. Lagian kalo ada ICU-nya nanti sirine ambulannya jelas mengganggu itu. Warga pun terganggu,” jelasnya.
Dosen senior ini masih menambahkan, “Rumah sakit itu idealnya harus memiliki ruang terbuka hijau (RTH) 30% dari luas lahan. Sekarang yang rumah sakit pemerintah saja sudah melanggar, padahal itu penting.”
Kemudian ia mengimbau pemerintah agar benar-benar mengkaji proses amdalnya dengan cermat dan tanpa intervensi. Ia mewanti-wanti agar jangan sampai kaidah form follow function bergeser menjadi form follow money, agar tidak terjadi kesenjangan dan gejolak di kemudian hari. [IB]