BANGKOK (Panjimas.com) – Jumlah imigran yang meninggalkan Myanmar dan Bangladesh dengan perahu dalam 4 bulan terakhir telah menurun drastis karena tindakan keras Otoritas Thailand dan Bangladesh pada penyelundupan manusia, demikian menurut aktivis HAM DAN PBB hari Jumat (08/01/2016) seperti dilansir oleh Japan Times.
Kepolisian Thailand meluncurkan kampanye meyakinkan melawan geng penyelundupan manusia bulan Mei lalu menyusul ditemukannya 30 mayat di kuburan dekat kamp perdagangan manusia di wilayah dekat perbatasan Malaysia.
Operasi Kepolisian Thailand menyebabkan para pedagang manusia itu meninggalkan 4.000 imigran dari Myanmar dan Bangladesh ditengah lautan. Insiden ini memicu situasi kekacauan di lautan, “ping-pong maritim” (saling lempar tanggung jawab), sehingga nasib ribuan imigran terkatung-katung tak jelas karena baik pihak Angkatan Laut Indonesia, Malaysia dan Thailand mendorong dan menghalau perahu-perahu imigran itu agar jauh dari pantai wilayah mereka.
Puluhan ribu umat Islam Rohingya telah melarikan diri dari kemiskinan dan penindasan di provinsi Rakhine, Myanmar bagian barat sejak kekerasan agama meletus di sana pada tahun 2012.
Sebagian besar dari Muslim Rohingya telah menuju Malaysia yang berpenduduk mayoritas Muslim, akan tetapi banyak juga dari mereka telah mendarat pertama kali pertama di wilayah Thailand selatan atau bahkan mereka telah dicegat militer Thailand dan ditahan untuk tebusan di kamp-kamp yang tersembunyi jauh di dalam hutan Thailand.
Daerah tempat Rohingya sekarang sedang memasuki momen “musim berlayar,” dengan kondisi laut yang lebih tenang setelah musim hujan, dan periode ini merupakan waktu tersibuk untuk aktivitas penyelundupan dan perdagangan kapal di Teluk Benggala.
Akan tetapi, Chris Lewa dari Arakan Project, sebuah kelompok advokasi Rohingya yang melacak jalur migrasi, mengatakan bahwa tahun ini jumlah rohingya yang berlayar jauh lebih rendah karena tindakan keras terhadap penyelundupan di Thailand dan Bangladesh.
Sekitar 1.500 orang berlayar dari Bangladesh dan Myanmar antara bulan September dan Desember tahun 2015, kata Chris Lewa, ini menurun drastis dibandingkan dengan jumlah 32.000 orang yang dilacak selama periode yang sama pada tahun 2014.
“Thailand ditutup dan tidak bisa digunakan untuk disembarkation (pendaratan perahu),” kata Lewa. “Beberapa broker yang tampaknya masih akan terlibat adalah orang-orang yang memiliki ‘perintah’ yang sudah ada bagi orang-orang yang akan dibawa, itulah yang diberitahukan pada kami saat keberangkatan.”
“Operasi anti perdagangan manusia juga terjadi di Bangladesh.”
Vivian Tan, juru bicara regional untuk U.N. refugee agency (Badan Pengungsi PBB), mengatakan bahwa data awal memperlihatkan jumlah imigran yang lebih sedikit untuk berlayar pada kuartal terakhir tahun ini.
“Berdasarkan wawancara kami dengan komunitas-komunitas yang terkena dampak, bisa jadi bahwa para penyelundup dan calon manusia-manusia perahu mengambil pendekatan wait and see (menunggu dan melihat terlebih dahulu situasinya) apalagi melihat pengawasan dan tindakan keras otoritas tahun lalu,” kata Vivian Tan.
Sebuah percobaan perdagangan manusia besar di Thailand sedang berjalan yang melibatkan 91 terdakwa yang diduga terlibat dengan geng penyelundupan yang menjual para Muslim Rohingya dan Bangladesh.
Para aktivis telah menyerukan pemerintah untuk meningkatkan perlindungan saks-saksi dalam persidangan, yang melibatkan seorang Jenderal Militer dan penyidik Kepolisian.
Ratusan orang yang memutuskan melakukan perjalanan tahun lalu tetap berada di pusat-pusat penahanan imigrasi dan penampungan di Thailand selatan dan setidaknya 11 Muslim Rohingya melarikan diri dari tempat penampungan tersebut pada hari Jumat (08/01/2016), menurut Kepala penampungan imigran Rohingya di Thailand Selatan.
Kondisi Muslim Rohingya Di Rakhine
Untuk diketahui, menurut PBB, Muslim Rohingya merupakan etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Seperti diberitakan panjimas sebelumnya, bahwa sebanyak 140.000 Muslim Rohingya yang tinggal di pinggiran Sittwe, hidup dipisahkan dari masyarakat Buddhis Rakhine. Para Muslim Rohingya juga tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan yang layak, pendidikan, dan kesempatan kerja, hal inilah yang telah mendorong mereka melarikan diri dengan perahu untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Banyak dari Muslim Rohingya yang berbondong-bondong telah melarikan diri dari Myanmar sejak tahun 2012, Mereka yang masih tetap tinggal hidup dipisahkan dalam ketakutan akan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar yang tidak mengakui hak kewarganegaraan Rohingya, demikian menurut beberapa kelompok HAM.
Otoritas Myanmar sendiri memandang Rohinya bukan bagian dari warga Negara Myanmar dan menolak memberikan akses dan hak kewarganegaraan, malah menyebut Rohingya sebagai para imigran Bengali.
Lebih dari 1 juta Muslim Rohingya tinggal di provinsis Rakhine, dimana disana telah menjadi saksi serangkaian kekejaman dan kekerasan etnis Rakhine Buddha terhadap minoritas Muslim sejak pertengahan tahun 2012.
Menurut Arakan Project, sebuah kelompok pemantauan pelanggaran hak asasi manusia dan migrasi di Teluk Benggala, konflik telah menewaskan ratusan orang dan lebih dari 140.000 kebanyakan Muslim Rohingya hidup dengan kondisi terbatas pada kamp-kamp pengungsian .
Setelah krisis perdagangan manusia di Asia Tenggara pada awal tahun ini, para Negara tetangga Myanmar telah meminta pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan nya masalah Muslim Rohingya yang menurut kelompok hak asasi manusia telah banyak menjadi korban perdagangan manusiam sehingga kasus migrasi besar-besaran Rohingya dapat memperumit masalah perdagangan manusia dan memperburuk keadaan.
Merujuk pada kesepakatan PBB tentang UU Kewarganegaraan tahun 1982, dimana sudah menjadi kewajiban untuk memasukkan semua Agama dan etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya, agar dapat menjamin hak-hak kewarganegaraan penuh dan juga kesetaraan, selain untuk penghapusan kebijakan yang telah menargetkan Rohingya di Negara bagian Rakhine. [IZ]