SOLO, (Panjimas.com) – Aktivis nahi munkar yang tergabung dalam berbagai elemen laskar Islam adalah pahlawan perubahan. Demikian pesan tersirat yang Panjimas dapat setelah membaca rilis dari salah satu narasumber Talkshow Advokasi untuk Umat Islam yang digelar di Solo, Ahad (17/1/2016), yang mencatat poin-poin historis Kota Solo dulu dan kini.
Pada masa pra kemerdekaan, di Solo lahir sebuah organisasi pergerakan nasional sebagai respon perlawanan terhadap penjajahan bernama Sarekat Islam (SI), demikian tulis Drs. Joko Sutarto, SH. Inilah organisasi pergerakan bertaraf nasional pertama di bumi pertiwi. Maka, lanjutnya, tak heran bila Solo menjadi barometer nasional.
Namun sayang, singkat cerita, pada perkembangannya, rentang tahun 90-an hingga 2000-an, di Kota Solo dan sekelilingnya menjamur tempat-tempat dan praktik-praktik kemaksiatan. Mulai dari diskotik, sebagai tempat minum-minuman keras; mengonsumsi narkoba; bahkan berzina, sampai perjudian dengan bermacam-macam jenisnya, serta peredaran miras yang nyaris tanpa kendali.
Kala itu, ungkap Joko, masyarakat Solo dan sekitar demikian bebas dan mudah memeroleh miras, serta leluasa menggelar arena perjudian. Maka secara logis, kondisi sosial yang sudah keterlaluan itu memberi dampak menguatnya kelompok preman, baik dalam jumlah maupun keparahannya.
Maka Joko mengatakan, dari melihat fakta tersebut, kaum muslimin merasa jemu dan muak. Kemudian dengan laskar-laskarnya, mereka bergerak dengan ikhlash dan trengginas melakukan tindakan-tindakan “terapi sosial” guna menghentikan laju perkembangan, dan mengikis secara bertahap praktik-praktik kemaksiatan di wilayah itu.
Dan, Joko mengingatkan, upaya itu tidaklah ditempuh secara gratis. Kaum muslimin dengan laskar-laskar atau aktivis-aktivis nahi munkarnya harus membayar mahal. Tak sedikit para aktivis yang menjadi korban, baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi. Diantara mereka sempat dipenjara dan dianiaya. Penyiksaan aktivis oleh oknum aparat bukan lagi sebuah rahasia. Sebagai contoh pada tahun 2013 lalu, Susilo, seorang aktivis yang ditangkap dalam kasus Doksari, Jebres, disiksa hingga tulang kakinya patah enam bagian.
Sungguh sadis memang. Tragis serta ironisnya, penyiksaan itu dilakukan bukan terhadap pelaku kemaksiatan, namun sebaliknya, terhadap aktivis Islam. Aktivis yang tanpa mendapat bayaran, bahkan harus merogoh koceknya sendiri untuk biaya melaksanakan nahi munkar. Insan-insan tulus ikhlash inilah yang dianiaya “aparat penegak hukum”!
Tapi yang pasti, Joko dalam rilis ini membeberkan bukti. Bahwa pengorbanan jiwa-raga para aktivis nahi munkar di Soloraya membuahkan hasil. Kini, peredaran miras di Solo dan sekelilingnya sudah jauh berkurang. Terlebih perjudian, sudah hampir tenggelam. Dan pastinya, supremasi preman sudah luntur mengendur nyaris hancur lebur!
Tentu hal ini wajib disyukuri bersama. Dan salah satu wujud syukur itu, khususnya di kalangan aktivis adalah terus berevaluasi dan memperbaiki metode-metode dalam melakukan aktivitas nahi munkar. Maka Talkshow Advokasi yang dibidani oleh Divisi Advokasi dan Kelaskaran DSKS adalah salah satu wujud upaya tersebut.
Di penghujung sesi talkshow, Endro Sudarsono selaku moderator menyampaikan, “Insya Allah talkshow advokasi akan kita adakan lagi dengan lebih intensif.” [IB]