JAKARTA (Panjimas.com) – Koordinator Tim Pengaca Muslim (TPM), Mahendradatta mengungkapkan satu bahasan dalam memori Peninjauan Kembali (PK) Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah perihal due process of Law.
Hal itu disampaikan Mahendradatta dalam konferensi pers terkait memori PK yang akan digelar di PN Cilacap, pada hari Selasa (12/1/2016).
“Sebenarnya salah satu prinsip pengadilan yang seimbang atau fair (fair trial) di dunia terutama negara-negara demokratis adalah prinsip cross examination yang ditunjang oleh kebebasan menyampaikan pendapat maupun fakta-fakta hukum yang diketahui,” kata Mahendradatta dalam konfererensi pers di kantor Mahendradatta Law Office, Jl RS Fatmawati no 22 F/G , Jakarta Selatan pada Sabtu (9/1/2016).
Menurutnya, tidak akan mungkin ada fair trial tanpa ada cross examination, di mana semua pihak didalam persidangan memiliki kebebasan untuk mencari kejelasan dari dakwaan, tuntutan, pembelaan, keterangan terdakwa, keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan alat bukti lainnya. Termasuk surat-surat dokumen (alat bukti tulisan/gambaran).
Masih terkait hal tersebut Mahendradatta juga mengungkapkan adanya kejanggalan dalam persidangan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Dalam persidangan Ustad Abu Bakar Ba’asyir sebagaimana diketahui, sebagian besar saksi-saksi yang dianggap kunci tidak dihadirkan ke muka persidangan secara langsung, namun diperiksa melalui teleconference walaupun posisi kedudukannya hanya 20 Km dari PN Jaksel.
Padahal sistim teleconference pertama kali diperkenalkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk saksi-saksi di luar pulau atau di luar negeri seperti saat persidangan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang pertama dulu.
“Dipaksakan dan ditetapkannya pemeriksaan teleconference oleh PN Jaksel jelas merupakan penciptaan keadaan tidak bebas bagi saksi dan mempersulit atau membatasi cross examination atau tidak bisa dilakukan pemeriksaan silang. Mengingat saat ini adalah PK atau dikenal internasional sebagai judicial review maka sudah tepat apabila isu ini diangkat untuk memperoleh kepastian dari Mahkamah Agung. Dan kepastian tersebutlah yang ditunggu oleh negara-negara lain agar bisa mengenal sejauh mana pelaksanaan hukum di Indonesia,” ungkapnya.
Terlepas adanya kepentingan tersembunyi dan pribadi (vested interested) atau tidak, negara-negara luar tersebut perlu memperhatikan hal ini. Karena bisa jadi pelanggaran-pelanggaran due process of law semacam ini muncul di berbagai kasus lainnya dan merugikan kepentingan hukum pihak lain.
“Seandainya sistim pemeriksaan teleconference ini diterapkan dalam pengadilan kasus narkotika yang terdakwanya warga negara asing, tentu tidak akan semulus terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir,” tandasnya. [AW]