BANGKOK, (Panjimas.com) – Meskipun tahun 2015 terjadi penurunan yang signifikan dalam jumlah serangan bom di daerah Thailand bagian Selatan, para aktivis prihatin dengan tindakan kejam militer yang semakin sewenang-wenang, menangkapi Muslim Pattani dan melakukan penyiksaan di daerah itu selama penahanan militer, dilansir oleh Anadolu
Media setempat Bangkok Post melaporkan Muhammad Ayub Pathan, Ketua Dewan Masyarakat Sipil Wilayah Selatan (Chairman of the Southern Civil Society Council), mengatakan bahwa bagi banyak orang di provinsi-provinsi selatan Pattani, Yala, Narathiwat dan beberapa distrik Songkhla yang mengalami kekerasan dan terus berlanjut semakin parah.
“Tetapi ruang sosial-politik telah dibuat sejak dialog perdamaian [dimulai pada tahun 2013 oleh pemerintah pasca kudeta, Perdana Menteri Yingluck Shinawatra] yang diresmikan 3 tahun lalu,” kata Pathan kepada Bangkok Post, menyebut hal itu sebagai terobosan “yang luar biasa”
Menurut statistik yang dikumpulkan oleh Southernmost Provinces Research Database , berkenaan dengan akademik, bahwa jumlah pemboman telah menurun dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 49 persen pada tahun 2015, bahkan mencapai 65 persen di 2007 – dimana wilayah Selatan Muslim Pattani telah mengalami insiden yang paling kejam sejak tahun 2004.
Sementara menyambut penurunan jumlah kekerasan, para tokoh masyarakat sipil lainnya, bagaimanapun, tetap berjaga-jaga dalam optimisme mereka, manakala kembali terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Di tingkat kebijakan, aparat keamanan mengumumkan seperangkat prosedur yang baik akan tetapi dalam operasi-operasi yang sebenarnya untuk patroli, penahanan, pencarian dan penangkapan adalah sesuatu yang lain sama sekali,” Anchana Heemmina, Direktur Duay Jai, yang telah lama menyelidiki situasi hak asasi manusia di wilayah selatan, mengatakan kepada Bangkok Post
“Orang-orang di daftar tersangka militer ditangkap, bahkan ketika mereka tidak memiliki catatan kriminal, dan banyak terjadi kunjungan rumah untuk mengumpulkan sampel DNA, hal ini telah menjadi suatu norma,” tambahnya.
Anchana Heemmina, mewakili suara para Aktivis, juga menyatakan keprihatinan mendalamnya tentang penyiksaan yang terjadi selama penahanan militer.
“Setelah tersangka berada di bawah tahanan militer, sulit untuk mendapatkan bukti penyiksaan yang dapat menyebabkan hukuman dan tuntutan bagi para pelaku.”
Organisasi hak asasi manusia telah mendokumentasikan 28 kasus penyiksaan selama penahanan militer, termasuk diantaranya berjumlah 15 kasus pada tahun 2015.
Tahun lalu, Pengadilan Thailand meminta otoritas secara finansial member kompensasi korban dalam 3 kasus penyiksaan seperti itu, tapi tidak ada pejabat yang didakwa sebagai kriminal.
Kekacauan di wilayah selatan telah berakar lama pada konflik tua etnis-budaya antara Muslim Melayu (Pattani) yang hidup di 4 Provinsi dan di pusat kota Thailand, dimana Budhisme menjadi agama resmi secara de-facto bagi Negara
Kelompok mujahidin dibentuk pada tahun 1960 setelah kediktatoran militer.
Pada tahun 2004, sebuah gerakan bersenjata (dibentuk kembali) muncul – terdiri dari sel-sel lokal banyak pejuang dikelompokkan di sekitar organisasi yang bernama Barisan Revolusi Nasional atau BRN (National Revolutionary Front ).
Sejak itu, konflik telah menewaskan lebih dari 6.500 jiwa dan melukai lebih dari 11.000 orang , membuatnya menjadi salah satu konflik intensitas rendah yang paling mematikan di bumi ini. [IZ]