YANGON, (Panjimas.com) – Pihak berwenang Myanmar baru-baru ini telah melarang sebuah Masjid di pinggiran ibukota Yangon untuk merayakan 100 tahun berdirinya Masjid itu. Pelarangan ini terjadi menyusul keluhan dari penghasut biksu ekstrimis Ashin Wirathu, yang sebelumnya menuduh Sebuah Masjid di Yangoon berencana akan berkhotbah tentang Hak Muslim Rohingya, seperti dilansir oleh Anadolu Agency
Seorang pengurus Masjid mengatakan kepada Anadolu melalui telepon bahwa para jamaah Masjid telah merencanakan untuk merayakan hari jadi ke-100 Masjid Sunni Jameh pada tanggal 4 Januari 2016 lalu yang juga bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Negara itu.
Namun sayangnya, pihak berwenang setempat telah menolak memberi izin pada hari Ahad, (03/01/2016) lalu.
“Kami merencanakan perayaan pada Hari Kemerdekaan sehingga banyak jamaah dapat bergabung dengan acara ini karena merupakan hari libur,” kata pengurus Masjid Sunni Jameh, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut adanya tindakan pembalasan.
“Namun pemerintah daerah setempat menjawab bahwa kita tidak dapat menyelenggarakan perayaan hari esok. Mereka mengatakan setiap perayaan lainnya, terutama upacara keagamaan diadakan di Masjid, dan hal itu tidak boleh terjadi pada saat Hari Kemerdekaan. ”
Sementara itu otoritas pemerintah lokal tidak dapat dihubungi untuk komentar lebih lanjut.
Pada Ahad malam, biksu ekstrimis yang terkenal luas sebagai penghasut, Ashin Wirathu membuat posting di akun Facebooknya bahwa anggota lokal Ma Ba Tha, kelompok nasionalis ekstrimis Buddha, telah menuduh bahwa perayaan tersebut seharusnya tidak diperbolehkan diadakan di Masjid di Teikgyi township (kotapraja Teikgyi).
“Karena kami (Ma Ba Tha) mendengar bahwa mereka berencana untuk memberitakan tentang Rohingya [minoritas etnis Muslim] di hari jadi ke-100 Masjid,” kata Wirathu dalam postingannya, Wirathu juga menuduh pihak Muslim sedang “testing the water” (upaya mengukur isu) sebelum partai National League for Democracy (NLD) Liga Nasional untuk Demokrasi, partai pemenang pemilihan umum 8 November lalu mengambil tampuk kekuasaan pada bulan Maret mendatang.
Meskipun pemimpin partai NLD – pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi – telah mengambil jarak hubungan dengan permasalahan dan isu Muslim Rohingya, banyak analis menduga tekanan dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan investor asing akan mendorong partai NLD untuk menekan angka penganiayaan dan penindasan terhadap komunitas agama, khususnya Muslim Rohingya.
Pada hari Senin (04/01/2016), pengurus Masjid telah membantah bahwa Masjid memiliki rencana untuk membahas soal hak-hak Rohingya.
“Kami hanya ingin lebih banyak orang bergabung dengan acara hari jadi Masjid ke-100 pada hari libur nasional,” katanya.
Banyak Kelompok HAM yang menyatakan bahwa Muslim Rohingya merupakan korban dari penganiayaan Negara, dan untuk diketahui, menurut PBB, Muslim Rohingya merupakan etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Tanggal 4 Januari merupakan perayaan Hari Kemerdekaan Myanmar yang diperingati sejak Deklarasi Kemerdekaan Myanmar dari Inggris tahun 1948.
Kelompok Biksu Ekstrimis Ma Ba Tha
Ashin Wirathu telah lama memimpin kampanye ganas anti-Muslim di Negara itu, yang telah memicu dan menyebabkan kekerasan yang banyak terjadi bahkan ia harus bertanggung jawab untuk atas berbagai korban yang tewas, terutama di Negara bagian Rakhine barat Myanmar – yang merupakan rumah bagi komunitas Muslim Rohingya.
Wirathu telah memperingatkan umat Islam untuk tetap damai, atau “pergi meninggalkan Myanmar”.
Seperti diberitakan panjimas sebelumnya, organisasi Ma Ba Tha, kelompok ektrimis Budha, dimana Wirathu merupakan salah satu pemimpinnya, pernah menyuarakan kebencian terhadap Islam. Ketua Ma Ba Tha, Mr. Nan Da Ba Tha pernah juga memerintahkan agar masyarakat Budhist menjadi kelompok penguasa [ruling class], dan mencegah penyebaran dan pendudukan Muslim.
Otoritas Myanmar sendiri memandang Rohinya bukan bagian dari warga Negara Myanmar dan menolak memberikan akses dan hak kewarganegaraan, malah menyebut Rohingya sebagai para imigran Bengali.
Nan Da Ba Tha juga menyalahkan pembelahan lama yang dijalankan di wilayah itu dengan ‘propaganda penyebaran Bengalis’. “penyebaran agama Islam di wilayah ini merupakan sebuah tren yang harus dihentikan”, seru Pemimpin kontroversial ini. ia juga mengatakan, “Orang Bengalis ingin mengambil alih wilayah ini secara permanen untuk generasi yang akan datang, kata Ketua organisasi Ma Ba Tha itu.
Ma Ba Tha adalah sebuah organisasi nasional ektrimis yang dikenal bergaris keras dan juga beranggotakan, Biksu Ashin Wirathu. Biksu yang telah dilabeli sebagai “face of Budhhist terror”, wajah terorisme Buddha, oleh media-media internasional.
Biksu Ashin Wirathu sebelumnya juga telah melakukan provokasi dan hasutan atas kekerasan terhadap populasi Muslim. Ia juga menggunakan ‘hate speech’, pidato penuh kebencian, yang turut andil dalam memperbesar pembelahan masyarakat Budda dan Muslim seantero Myanmar.
Di Seluruh Sittwe, status Buddhisme jauh lebih tampak, mengakar dan kokoh, dengan Pagoda-pagoda emas yang besar, baik yang berumur tua dan yang baru. Berbanding terbalik dengan kondisi Muslim lokal yang dikatakan memiliki 35 Masjid, yang sekarang telah dihancurkan dan tidak boleh dikelola kembali, salah satu Masjid dibakar selama kekerasan tahun 2012 atau sebagian yang lain telah diubah menjadi markas pasukan militer ataupun polisi.
Sentimen Anti Muslim telah menjadi lumrah dan biasa di Rakhine, dengan banyak penduduk lokal yang setuju dengan keputusan pemerintah memisahkan 2 komunitas, dimana Muslim Rohingya diasingkan dalam Kamp pengungsian, Internally Displaced Person [IDP], di daerah-daerah pinggiran kota.
sebanyak 140.000 Muslim Rohingya yang tinggal di pinggiran Sittwe, telah hidup dipisahkan dari masyarakat Buddhis Rakhine. Para Muslim Rohingya juga tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan yang layak, pendidikan, dan kesempatan kerja, hal inilah yang telah mendorong mereka melarikan diri dengan perahu untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Menurut Arakan Project, sebuah kelompok pemantauan pelanggaran hak asasi manusia dan migrasi di Teluk Benggala, bahwa konflik telah menewaskan ratusan orang dan lebih dari 140.000 kebanyakan Muslim Rohingya hidup dengan kondisi terbatas pada kamp-kamp pengungsian.
Merujuk pada kesepakatan PBB tentang UU Kewarganegaraan tahun 1982, dimana sudah menjadi kewajiban untuk memasukkan semua Agama dan etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya, agar dapat menjamin hak-hak k ewarganegaraan penuh dan juga kesetaraan, selain untuk penghapusan kebijakan yang telah menargetkan Rohingya di Negara bagian Rakhine. [IZ]