JAKARTA, (Panjimas.com) – Keputusan MUI Papua yang dinilai diskriminatif terhadap niat baik Ustadz Ja’far Umar Thalib untuk berdakwah di Papua nampaknya mendapat teguran dari Wakil Ketua Dewan Pembina TPM Pusat, Achmad Michdan.
Seperti dilansir arrahmah.co.id, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua akhirnya dengan tegas meminta tokoh Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib untuk hengkang dari bumi Papua.
Ketua MUI, Payage, beralasan bahwa cara Ustadz Ja’far dalam berdakwah tidak relevan dengan kondisi di Papua. Dan keputusan ini diambil karena kerawanan penyebaran ajaran Islam yang radikal yang bisa menjurus pada konflik antar umat beragama di Papua.
Achmad Michdan menilai, bahwa tindakan MUI Papua adalah tindakan yang diskriminatif dan melanggar HAM. Karena, tidak berdasarkan kaidah-kaidah baku sesuai ketentuan NKRI yang berlaku.
“Kalau melarang dakwah harus berdasarkan kaidah-kaidah yang baku berdasarkan ketentuan NKRI. Jika tidak, tentu saja itu menjadi hal yang diskriminatif dan melanggar HAM.” ujar Michdan ketika dihubungi panjimas.com, Rabu (6/1/2016).
Lebih lanjut, Achmad Michdan mengatakan, harusnya baik dari Papua maupun pendatang selama ini ada di negara Indonesia harus diperlakukan sama, tidak boleh ada diskriminasi.
Tidak hanya itu, kekhawatiran yang berlebihan dari pihak MUI Papua terhadap dakwah Ustadz Ja’far pun tidak dapat dibenarkan. Karena, sampai saat ini pihak MUI Papua belum bisa membuktikan apakah benar dakwah yang akan disampaikan oleh Ustadz Ja’far akan menyebabkan konflik umat beragama di Papua. Padahal, Ustadz Ja’far hanya ingin berdakwah sesuai al-Qur’an dan Hadits.
“Menurut hemat saya, tindakan itu adalah tindakan diskriminatif dan pelanggaran hak asasi.” tegas Michdan.
Melihat akan ada upaya tersebut, Achmad Michdan mempertanyakan langkah yang akan ditempuh oleh MUI Papua.
“Kita lihat kesalahannya sudah ada atau belum? Kalau dia dikeluarkan itukan harus jelas, karena apa? Sudah dilakukan atau belum? Selama itu belum ada ya.. tidak bisa!” katanya.
Lebih lanjut, Michdan menegaskan, negara ini presidennya satu. Kecuali, ada Presiden Papua. Undang-undangnya juga yang diberlakukan satu. Semua diterapkan sesuai peraturan yang ada dan tidak boleh diskriminatif selama kita berada di NKRI. Karena, di negara NKRI tidak ada yang boleh dibedakan.[RN]