(Panjimas.com) – Arab Saudi telah memutuskan hubungan diplomatic dengan Iran pada hari Ahad (03/01/2016) setelah penyerbuan Kedutaan Saudi di Teheran dan Konsulatnya di Masyhad, krisis diplomatik ini diperdalam pasca eksekusi Kerajaan Saudi atas seorang ulama Syiah terkemuka, Nimr Al-Nimr (56), dilansir Reuters
Pemutusan hubungan diplomatik oleh Saudi terhadap Iran, cukup mengejutkan banyak pihak, walaupun sejarah konflik diantara Negara mayoritas Sunni dan Syiah ini telah berlangsung cukup lama.
Seperti diberitakan panjimas.com sebelumnya, pasca penyerbuan kantor Kedutaan dan Konsulatnya, Menteri Luar Negeri Saudi, Ader al-Jubeir, segera menyatakan sikap Saudi untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Selain itu, menanggapi serangan Kedutaan Saudi, beberapa Negara Sekutu Saudi di Gulf Cooperation Council (GCC), terutama Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Kuwait, bahkan Sudan dari Negara Muslim Benua Afrika segera mengutuk keras tindakan Iran, dan menyebut bahwa Pemerintah Iran telah melanggar norma hukum Internasional dan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Konsuler.
Secara tegas, mengikuti sekutu dekatnya Saudi, Bahrain, Sudan, UEA, Qatar juga memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran, sementara beberapa yang lain memanggil Duta Besar Iran di Negara setempat, untuk menyampaikan protes kerasnya.
Baik, Syiah Iran dan Sunni Arab Saudi telah bersaing cukup lama dalam konteks geo-politik di kawasan Timur Tengah. Khawatir dengan munculnya pengaruh Iran di Timur Tengah, Riyadh telah secara konsisten mendukung musuh-musuh Iran dan menekan demonstrasi Syiah dan setiap aksi pro-Iran, mengutip Surat Kabar Perancis, La Tribune.
“[Persaingan] Iran-Saudi telah berusia sekitar 30 tahun dan merupakan sebuah Perang Dingin yang tak memiliki nama,” kata Thierry Coville, seorang peneliti dari Institut Hubungan Internasional dan Kajian Strategis (IRIS).
Untuk memahami dan melihat seluruh gambaran di balik krisis politik saat ini diantara kedua Negara kita harus melihat kembali ke dalam sejarah dan mengingat setidaknya beberapa peristiwa politik lainnya yang menunjukkan bahwa krisis diplomatic telah lama ada, diantara keduanya.
Berikut adalah beberapa rincian tentang pasang surut hubungan selama 30 tahun terakhir:
1979: Revolusi Iran
– Penguasa Arab Saudi terkejut menyaksikan Raja Shah Mohammed Reza Pahlevi, rekan dinasti Saud, digulingkan oleh ulama Syiah, dan pihak Riyadh tampak khawatir jika Revolusi mereka diekspor dan dipraktikkan ke Saudi.
1980 – Arab Saudi dan sekutunya secara finansial mendukung Irak memerangi Iran
Selama perang berdarah antara Iran dan Irak (1980 – 1988), Arab Saudi secara finansial mendukung Irak dan mendesak Bahrain, Qatar, Uni Emirat melakukan hal yang sama. Riyadh takut bahwa revolusi Iran 1979 mengancam stabilitas kawasan Timur Tengah.
1980-1988: IRAN-IRAK WAR
– Iran berang atas dukungan Arab Saudi kepada Irak dalam perang Iran-Irak selama 1980-1988, di mana Baghdad menggunakan senjata kimia.
* 1987 – MEKKAH
– Hubungan antara Arab Saudi dan Iran tegang dan hampir mencapai titik putusnya hubungan diplomatic saat pada bulan Juli tahun 1987 ketika 402 jamaah, 275 di antaranya adalah warga Iran, gugur dalam bentrokan di kota suci Muslim, Mekkah.
– Para pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di Teheran, mereka kemudian menduduki Kedutaan Saudi dan membakar kantor Kedutaan Kuwait. Seorang diplomat Arab, al-Ghamdi Mousa’ad, meninggal di Teheran karena luka yang dideritanya ketika ia jatuh dari jendela kantor Kedutaan dan Riyadh menuduh Teheran menunda pemindahannya ke Rumah Sakit di Arab Saudi.
– Hubungan diplomatik Saudi-Iran diputus oleh Raja Arab Saudi, Fahd pada bulan April 1988.
* 1999 – MASA HUBUNGAN MEMBAIK
– Raja Fahd mengucapkan selamat atas kemenangan Presiden Iran Mohammad Khatami di pemilu pada tahun 2001, dan mengatakan hal itu merupakan dukungannya atas kebijakan reformis Khatami. Khatami, adalah seorang ulama Syiah, yang telah bekerja untuk memulihkan hubungan dengan Arab Saudi setelah untuk pertama kalinya ia menang telak pada tahun 1997 dan mengakhiri 2 dekade (20 tahun) hubungan tegang setalah peristiwa Revolusi Iran 1979.
– Presiden Iran Khatami mengunjungi Arab Saudi pada tahun 1999 pada kunjungan resmi pertama oleh seorang Presiden Iran sejak revolusi 1979. Kedua negara menyepakati untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan menandatangani pakta keamanan pada bulan April 2001.
* 2003 – RIVALITAS KAWASAN
– Invasi Barat yang menggulingkan Saddam Hussein di Irak telah memberdayakan mayoritas Syiah di negara itu dan mengakibatkan pergeseran politik terhadap Iran, bahkan kini Syiah mmeerintah Irak.
– Program energi nuklir Iran semakin memperdalam ketakutan Saudi bahwa Teheran di bawah pengganti Khatami, Presiden Mahmoud Ahmadinejad bertekad mendominasi kawasan Teluk dan meningkatkan populasi Syiah-nya.
– Arab Saudi mengatakan kepada utusan Iran pada bulan Januari tahun 2007 bahwa Iran telah menempatkan kawasan Teluk dalam situasi berbahaya, dan sebagai referensi juga mengacu pada konflik Syiah Iran dengan Amerika Serikat atas Irak dan juga terkait program nuklirnya.
Januari 2007 – Saudi takut akan krisis nuklir Iran dan bergesernya penguasa Syiah Irak yang bersekutu dekat dengan Syiah Iran
Arab Saudi dan Turki simbol dari ‘supremasisme Sunni’
Riyadh mulai merasa cemas dengan program nuklir Iran, meskipun Teheran menegaskan bahwa program yang dirancang mereka hanya untuk tujuan damai. Pemerintah Saudi meyakini Iran sedang berusaha untuk mendapatkan senjata nuklir untuk meningkatkan pengaruh politiknya di Timur Tengah. Pada saat yang sama, menyusul invasi AS ke Irak pada tahun 2003, mayoritas Syiah kini berkuasa di Baghdad, yang selanjutnya lebih membuat khawatir Saudi.
* 2011 – ARAB SPRING
Maret 2011 – Arab Saudi mengirim pasukan ke Bahrain
– Saat munculnya Arab Spring, protes demonstrasi skala besar pro-demokrasi pecah di Bahrain, sekutu Arab Saudi. Khawatir bahwa demonstran, yang banyak dari mereka adalah Syiah dan selaras dengan kepentingan Iran, Saudi mengirim tentara mereka untuk membantu pemerintah Bahrain untuk menghadang para demonstran.
– Kedua Negara itu kemudian menuduh Teheran mengobarkan kekerasan terhadap polisi Bahrain.
– Kabel diplomatik AS yang dirilis oleh WikiLeaks menunjukkan pemimpin Arab, termasuk Raja Abdullah, mendorong Washington untuk mengambil sikap keras terhadap Iran atas program nuklirnya, termasuk kemungkinan penggunaan kekuatan militer.
– Arab Saudi menuduh beberapa Syiah di Provinsi bagian Timur Saudi, termasuk Nimr, bekerja sama dengan Negara asing – yang berarti Iran – untuk memicu perpecahan, setelah bentrokan terjadi antara polisi dan kelompok Syiah.
– Washington mengatakan telah menemukan sebuah rencana Iran untuk membunuh Duta Besar Saudi untuk Amerika Serikat. Riyadh mengatakan bukti itu suatu hal yang luar biasa dan Teheran akan membayar harga mahal atas skenarionya itu.
— Juli 2012, Arab Saudi menangkap Imam Syiah, menuduh ia telah melakukan pengkhianatan.
Setelah bentrokan antara polisi dan demonstran Syiah, pemerintah Saudi menangkap Imam Syiah Nimr al-Nimr, menuduhnya bekerja sama dengan Negara asing, Iran. Sebelum penangkapannya al-Nimr menyerukan pemisahan provinsi timur Arab Saudi, Qatif dan al-Ihsaa dari Kerajaan Saudi Arabia.
* 2012 – PROXY WARS
– Arab Saudi menjadi pendukung utama pemberontak pejuang untuk menggulingkan sekutu Iran, Presiden Bashar al-Assad di Suriah. Riyadh menuduh Assad melakukan “genosida” (pembunuhan missal) dan Iran bertindak menjadi penyokong rezim zalim Suriah. Sementar Teheran menuduh Riyadh menyokong “terorisme”.
– Saudi berusaha untuk menggulingkan Bashar al-Assad di Suriah
Saudi akan menghadiri Pembicaraan terkait Suriah Meskipun Memutus Hubungan Dengan Utusan Iran
Arab Saudi menjadi salah satu pendukung utama pemberontak Islam (mujahidin) yang berusaha menggulingkan pemerintah Suriah yang dipimpin oleh Bashar al-Assad. Riyadh menuduh al-Assad melakukan genosida (pembunuhan missal) atas populasi Sunni.
*2015 PROXY WARS
– Pada bulan Maret 2015, Arab Saudi memulai kampanye militer di Yaman untuk menghentikan kelompok Syiah Houthi, yang bersekutu dengan Iran, dari mengambil kekuasaan Presiden Yaman. Riyadh menuduh Iran menggunakan sejumlah milisi untuk melancarkan kudeta. Teheran mengatakan serangan udara Riyadh menargetkan warga sipil. Konflik perang Yaman menyebabkan krisis kemanusiaan di Yaman, yang mempengaruhi sekitar 20 juta orang atau 80 persen dari penduduk Negara itu, menurut PBB. [IZ]