TEHERAN, (Panjimas.com) – Hari Jumat adalah hari yang pedih dan getir bagi Hassan Amini, 69 tahun. Hari itu selalu mengingatkan Hassan betapa dia dan teman-temannya harus hidup menanggung penghinaan.
Sebagai seorang ulama Sunni di Kota Sanandaj, Provinsi Kurdistan, Iran, Hassan tak diperkenankan naik ke podium dan memberikan khotbah Jumat di masjid kampungnya sendiri. Siapa khatib salat Jumat pada hari itu sudah ditunjuk oleh penguasa Iran di Teheran. Sudah tentu sang pengkhotbah bukan seorang muslim Sunni.
Padahal ada ratusan masjid dengan mayoritas jemaah muslim Sunni di Sanandaj. “Ada sekitar 250 masjid Sunni di Sanandaj,” kata Hassan, kepada FT, beberapa waktu lalu. Di negara Syiah seperti Iran, Hassan dan teman-temannya memang bukan penduduk mayoritas. Dari sekitar 80 juta penduduk Iran, ditaksir ada 10 juta muslim Sunni. Menurut data dari pemerintah Iran, ada 47.291 masjid Syiah dan 10.344 masjid Sunni di Negeri Seribu Mullah.
Bagi Hassan dan jutaan muslim Sunni, Iran adalah tanah tumpah darahnya. Sama halnya Arab Saudi bagi dua jutaan muslim Syiah di wilayah timur kerajaan kaya raya minyak itu. Tapi tak cuma di zaman Shah Reza Pahlavi, setelah Revolusi Iran pada 1979, nasib muslim Sunni tak banyak berubah.
Pada 2009, Human Rights Watch menerbitkan laporan panjang soal rupa-rupa diskriminasi terhadap muslim Syiah di Arab Saudi. Menteri pertama Saudi dari komunitas Syiah baru ditunjuk satu setengah tahun lalu. “Sudah sekian lama hak-hak mereka dirampas dan diperlakukan seperti warga kelas dua,” kata Kamel al-Wazne, peneliti asal Lebanon.
Senasib dengan muslim Syiah di Arab Saudi, muslim Sunni di Iran juga terus mendapat perlakuan diskriminatif. Mereka “tak berdaulat” di masjidnya sendiri. Bahkan beberapa masjid Sunni ditutup pemerintah Iran. Saeed, seorang muslim Sunni di Punak, Teheran, menuturkan kepada Observers, bertahun-tahun dia dan komunitasnya beribadah dengan damai hingga pada 2011, polisi Iran datang untuk menutup masjid mereka.
Mereka mengalihkan ibadah ke tempat lain, tapi pertengahan tahun lalu, polisi kembali datang dan menutupnya. “Ada banyak pejabat garis keras yang tak peduli dengan hak asasi manusia. Beberapa muslim Syiah garis keras percaya bahwa kami tak punya hak untuk mendirikan tempat ibadah di negara Syiah,” kata Saeed.[detik/RN]