YANGON, (Panjimas.com) – Pihak berwenang Myanmar telah menolak perijinan untuk penyelenggaraan seminar internasional yang akan membahas terkait identitas etnis Muslim Rohingya, dilansir oleh Anadolu Agency.
Mengutip pernyataan seorang pejabat Myanmar hari Kamis (31/12/2015) menyatakan bahwa etnis Muslim Rohingya, yang tinggal di bagian barat Provinsi Rakhine, secara resmi tidak diakui oleh Negara.
Penyelenggaraan seminar internasional yang direncanakan untuk hari Jumat (01/01/2016) itu ditolak izinnnya sembari menyatakan, bahwa bukti klaim internasional atas sejarah dan budaya yang akan disajikan dan didiskusikan dalam seminar tersebut untuk menegaskan kembali yang disebut etnis Rohingya, tidak akan pernah menjadi bagian dari Rakhine dalam hal agama atau budaya.”, kata pejabat resmi Myanmar
Seorang pejabat senior Myanmar yang dikonfirmasi Anadolu Agency pada hari Kamis (31/12/2015) mengatakan bahwa pemerintah daerah Yangon telah memutuskan pada hari Rabu (30/12/2015) untuk memblokir seminar itu, dan mengungkapkan kekhawatiran bahwa seminar itu bisa memicu kemarahan di kalangan masyarakat.
“Menurut keputusan Rapat Kabinet kemarin, kami memberitahukan panitia hari ini (31/12/2015) bahwa mereka tidak diizinkan untuk mengadakan seminar,” kata pejabat yang tidak ingin disebut namanya itu.
“Seminar ini tidak diperlukan saat ini karena bahkan Presiden sekalipun tidak menerima ‘Rohingya’ ujarnya, dan Presiden tegas sudah mengatakan bahwa yang disebut Rohingya adalah imigran Bengali ilegal dari Negara tetangga,” tambahnya. “Ini hanya akan membuat orang marah lagi.”
Hingga kini, pihak Anadolu Agency tidak dapat menghubungi penyelenggara dan peserta seminar itu untuk berkomentar terkait dengan “Pertimbangan Identitas Etnis Rohingya ”
Untuk diketahui, menurut PBB, Muslim Rohingya merupakan etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia. Seperti diberitakan panjimas sebelumnya, sebanyak 140.000 Muslim Rohingya yang tinggal di pinggiran Sittwe, hidup dipisahkan dari masyarakat Buddhis Rakhine. Para Muslim Rohingya juga tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan yang layak, pendidikan, dan kesempatan kerja, hal inilah yang telah mendorong mereka melarikan diri dengan perahu untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Banyak dari Muslim Rohingya yang berbondong-bondong telah melarikan diri dari Myanmar sejak tahun 2012, Mereka yang masih tetap tinggal hidup dipisahkan dalam ketakutan akan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar yang tidak mengakui hak kewarganegaraan Rohingya, demikian menurut beberapa kelompok HAM.
Otoritas Myanmar sendiri memandang Rohinya bukan bagian dari warga Negara Myanmar dan menolak memberikan akses dan hak kewarganegaraan, malah menyebut Rohingya sebagai para imigran Bengali.
Lebih dari 1 juta Muslim Rohingya tinggal di provinsis Rakhine, dimana disana telah menjadi saksi serangkaian kekejaman dan kekerasan etnis Rakhine Buddha terhadap minoritas Muslim sejak pertengahan tahun 2012.
Menurut Arakan Project, sebuah kelompok pemantauan pelanggaran hak asasi manusia dan migrasi di Teluk Benggala, konflik telah menewaskan ratusan orang dan lebih dari 140.000 kebanyakan Muslim Rohingya hidup dengan kondisi terbatas pada kamp-kamp pengungsian .
Setelah krisis perdagangan manusia di Asia Tenggara pada awal tahun ini, para Negara tetangga Myanmar telah meminta pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan nya masalah Muslim Rohingya yang menurut kelompok hak asasi manusia telah banyak menjadi korban perdagangan manusiam sehingga kasus migrasi besar-besaran Rohingya dapat memperumit masalah perdagangan manusia dan memperburuk keadaan.
Myanmar telah menanggapi kritik soal masalah ini dengan menuduh pihak luar mencampuri urusan internal mereka.
Merujuk pada kesepakatan PBB tentang UU Kewarganegaraan tahun 1982, dimana sudah menjadi kewajiban untuk memasukkan semua Agama dan etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya, agar dapat menjamin hak-hak k ewarganegaraan penuh dan juga kesetaraan, selain untuk penghapusan kebijakan yang telah menargetkan Rohingya di Negara bagian Rakhine. [IZ]