BEIJING, (Panjimas.com) – Cina baru-baru ini telah menerapkan sanksi hukum atas penyebaran informasi palsu tentang ancaman terorisme.
2 pebisnis eksekutif dari sebuah perusahaan yang tidak disebutkan namanya kini telah ditahan karena postingan alarm palsu di perusahaan mereka, dimana 2 eksekutif ini telah memperingatkan sesama karyawan bahwa tentara militan IS (Islamic State) telah menyusup ke kota mereka, dilansir oleh Reuters.
Menurut Associated Press, rumor palsu itu mengklaim bahwa sebanyak 300 militan dari Xinjiang, di wilayah utara di mana minoritas Muslim Uighur tinggal, telah dilatih oleh IS (Islamic State) dan dikerahkan ke kota Guangming di wilayah selatan Cina untuk melaksanakan operasi terorisme.
Mengutip laporan Associated Press, kekerasan di wilayah Xinjiang telah mengakibatkan ratusan korban selama beberapa tahun terakhir, dan diklaim oleh Beijing telah menciptakan masalah keamanan utama bagi pemerintah China.
Seperti diberitakan oleh panjimas.com sebelumnya, para pakar keamanan dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok Uighur dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakukan pembenaran atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam itu.
Beijing telah menuduh mereka sebagai dalang atas semua serangan teror di kawasan publik Cina. Beijing terus berusaha menghubung-hubungkan Uighur dengan kelompok radikal, termasuk Taliban dan ISIS.
Banyak kritikan terhadapa represi Cina atas minoritas Muslim Uighur dan diantaranya mengatakan bahwa pihak Beijing telah menggunakan keberadaan Muslim Uighur sebagai alasan untuk meningkatkan kekuatan keamanan Cina dan menindak perbedaan serta kebebasan berpendapat.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah China baru-baru ini telah menunjukkan sensitivitas ekstrim terkait pertanyaan tentang nasib minoritas Muslim Uighur. Misalnya, kasus seorang Jurnalis Perancis Ursula Gauthier yang merupakan koresponden kota Beijing untuk majalah L’obs, dipaksa harus angkat kaki dari Cina pada tanggal 31 Desember 2015, setelah permohonan visa kerjanya ditolak oleh Otoritas pemerintah Cina.
Segera setelah menerbitkan sebuah cerita yang menunjukkan bahwa pemerintah Cina sedang menggunakan alasan serangan Paris untuk membenarkan tindakan kerasnya terhadap Muslim Uighur, Ursula Gauthier menjadi subjek editorial di media-media yang dikendalikan pemerintah dan bahkan mengalami ancaman pembunuhan, demikian menurut L’Obs
Gauthier menjadi sorotan beberapa media lokal yang berafiliasi dengan pemerintahan komunis itu setelah menerbitkan tulisan mengenai Muslim Uighur. Gauthier menuduh China memakai ‘teror Paris’ sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan keras terhadap kaum minoritas Uighur yang tinggal di Provinsi Xinjiang.
Dikatakan artikel yang Gauthier tulis mengenai kerusuhan di Xinjiang merupakan sebuah “tindakan kejam dan terorisme ” yang menewaskan banyak orang.
Tindakan Beijing atas Ursula Gauthier telah dilihat masyarakat internasional sebagai pertanda tindakan represi semakin berlanjut kali ini terhadap wartawan asing di bawah pemberlakuan undang-undang anti-terorisme baru Cina.
Mengutip Irlandia Times, melaporkan bahwa Partai Komunis China bahkan melakukan jajak pendapat tentang Ms. Gauthier dan mengklaim telah mendapatkan dukungan 95 persen untuk mengusir wartawan Prancis itu yang dianggap mendukung minoritas Muslim Uighur.
Banyak kelompok HAM, meskipun, meragukan keberadaan kelompok militan kohesif di Xinjiang, juga mengatakan bahwa kerusuhan sebagian besar berasal dari kemarahan di kalangan orang-orang Muslim Uighur di wilayah ini lebih dikarenakan pembatasan agama dan budaya mereka.
Untuk diketahui pemberlakuan Undang-undang anti-terrorisme baru pemerintah Cina ini juga membatasi hak media untuk melaporkan rincian serangan teror, termasuk ketentuan bahwa media cetak, elektronik, media online dan media sosial tidak dapat melaporkan rincian kegiatan terror yang mungkin menyebabkan imitasi, atau menunjukkan adegan yang “kejam dan tidak manusiawi”.[IZ]