BEIJING, (Panjimas.com) – Kepolisian Cina akhir November lalu secara resmi mengumumkan ditembak matinya 28 orang yang mereka anggap sebagai ‘’kelompok teroris’’ di wilayah Xinjiang, yang mayoritas penduduknya Muslim.
Ini merupakan operasi paling berdarah dalam beberapa bulan, dari hasil perburuan selama 56 hari, menyusul serangan terhadap sebuah tambang batu bara di Aksu pada bulan September lalu yang menewaskan 16 orang, kata portal web pemerintah daerah Xinjiang, Tianshan. Satu orang menyerah, tambahnya.
Ini merupakan konfirmasi resmi pertama atas 2 serangan terhadap tambang dan juga akibatnya.
Seperti diketahui, Xinjiang adalah tanah air dari etnis minoritas Muslim Uighur. Banyak dari mereka mengeluhkan tentang diskriminasi dan kontrol terhadap budaya dan agama mereka, dan wilayah Xinjiang sering dilanda kerusuhan mematikan.
Menurut portal berita pemerintah daerah Xinjiang, Tianshan, serangan terhadap tambang batu bara itu merupakan “serangan teroris dan kekerasan di bawah komando langsung dari sebuah organisasi ekstrimis di luar negeri”, kata Tianshan.
Mengutip Kantor berita resmi Xinhua mengutip pernyataan pemerintah Xinjiang mengidentifikasi pemimpin serangan sebagai Musa Tohniyaz dan Mamat Aysa, yang diidentifikasi berdasarkan namanya dari etnis Uighur.
Pernyataan resmi diterbitkan tak lama setelah Radio Free Asia (RFA), yang didanai oleh pemerintah AS, mengatakan bahwa lebih dari 50 orang termasuk 5 polisi tewas dalam serangan pisau di sebuah tambang batu bara di Aksu pada bulan September.
Para penyerang menargetkan penjaga keamanan, rumah pemilik tambang, dan asrama pekerja, katanya.
Awal pekan ini Radio Free Asia (RFA) mengutip pemerintah China dan sumber-sumber lokal mengatakan tersangka, termasuk 7 perempuan dan anak-anak – di antara mereka ada yang berumur 1 tahun dan 6 tahun – dilaporkan telah dibunuh oleh pihak berwenang China.
Label Terorisme Palsu
Beijing menuduh bahwa separatis Uighur adalah seperti Gerakan Islam Turkistan yang berada di balik serangan di Xinjiang, yang diklaim pihak Beijing telah menimbulkan gelombang kerusuhan yang mematikan.
Namun para pakar dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok itu dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakukan pembenaran atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam itu.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah salah satu pemicu kekerasan.
Beijing –menganggap kecaman dari pemerintah-pemerintah asing terhadap serangan di Xinjiang tidak berdasar – dan malah balik menuding Negara-negara Barat menerapkan “standar ganda” dengan mengangkat isu terorisme dari serangan Paris yang menewaskan sedikitnya 129 orang itu.
“Standar ganda seharusnya tidak diperbolehkan,” kata Menteri Luar Negeri China Wang Yi hari Ahad.
“Cina adalah korban dari terorisme,” kata pemberitaan Xinhua News dalam sebuah komentarnya hari Kamis malam.
“Memerangi Gerakan Islam Turkistan Timur , Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM),, kelompok teror yang ada dalam daftar PBB, dan kelompok teroris lainnya merupakan komponen penting dari perjuangan melawan terorisme internasional,” tambahnya.
Cina cenderung untuk melabeli “teroris” untuk semua serangan yang melibatkan Muslim Uighur, walaupun faktanya pemerintah Xinjiang masih sering menindas Muslim Uighur. Seperti ketika Kepolisian Cina bulan lalu dengan cepat mengesampingkan kemungkinan “aksi teroris” ketika serangkaian 18 ledakan menewaskan sedikitnya 7 orang d i wilayah selatan Guangxi.
Kata “teroris” itu sama dihindari Beijing ketika ledakan bom menewaskan1 orang dan melukai 8 orang di luar kantor Partai Komunis di provinsi Shanxi pada tahun 2013.
Kontak Senjata
Portal berita Tianshan mengatakan, Kepolisian Cina mengerahkan sekitar 10.000 orang dari “berbagai kelompok etnis” untuk membantu dalam mencari penyerang tambang batu bara.
Berita Tianshan ini dilengkapi dengan gambar yang menunjukkan para petani dipersenjatai dengan tongkat kayu dan alat-alat pertanian, dan sebuah helikopter yang juga dikerahkan dalam operasi itu
Pihak berwenang meluncurkan “serangan keras” di Xinjiang setelah bom meledak di stasiun kereta api utama di daerah ibukota Urumqi tahun lalu , ketika Presiden, Xi Jinping telah mengakhiri kunjungan ke kota itu .
Tindakan kekerasan telah tampak sebagai uji coba massa dan beberapa eksekusi.
Pada bulan Maret tahun 2014, 31 orang ditikam hinggga mati di sebuah stasiun kereta api di Kunming, di barat daya Cina, dengan 4 penyerang tewas, dengan separatis Xinjiang dipersalahkan dan media pemerintah menganggap itu sebagai tragedi “11 September di Cina” .
2 bulan kemudian 39 orang tewas dalam serangan berdarah di sebuah pasar di Urumqi. [IZ]