YERUSSALEM, (Panjimas.com) – Masjid Al-Aqsa tidak akan bisa dibagi secara spesial seperti apa yang terjadi dengan cara bagaimana Masjid Ibrahimi di Hebron telah dibagi, demikian pernyataan Wakil Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh yang juga adalah mantan Perdana Menteri Palestina periode 2006-2007, hari Kamis (17/12/2015).
Selama Pidato di Konferensi Ilmiah Yerusalem ke- 9 di Gaza, Ismael Haniyeh mengatakan bahwa banyak kehidupan yang dikorbankan demi Al-Aqsa, dan pendudukan Israel tidak memiliki kewenangan atasnya. Dia menekankan bahwa Al-Aqsa tidak akan bisa dibagi, baik sementara waktu maupun dalam hal pembagian ruang.
“Pemberontakan merupakan akhir dari sebuah fase dan awal dari sebuah fase baru, yang mungkin berakhir dengan pembebasan Al-Aqsa dan tanah Palestina ,” kata salah satu petinggi HAMAS ini.
“Semangat untuk mati syahid sekarang sedang berlaku di kalangan pemuda,” tambahnya.
Haniyeh mencatat bahwa pemberontakan pecah untuk mencapai tujuan nasional kebebasan, kemandirian dan memenuhi hak rakyat Palestina kembali. Dia mengatakan bahwa Intifada telah mengatasi kendala seperti tekanan politik dan represi Israel.
Gerakan Intifada di Yerusalem perlu diperkuat melalui kerja 4 hal secara parallel : 1) memperdalam pemberontakan, 2) memiliki chip berdaya tawar untuk melindunginya, 3) mengembangkan gerakan Intifada ke lebih banyak lokasi dan, 4) memobilisasi lebih banyak orang untuk berpartisipasi di dalamnya, jelasnya.
Haniyeh mengatakan bahwa kerja poin ke-2 dapat diwujudkan dengan memperkuat persatuan nasional, dan ia menyerukan digelarnya Kerangka Kepemimpinan Sementara Organisasi Pembebasan Palestina, sehingga dapat membahas strategi nasional Palestina dan cara-cara untuk mendukung dan mengembangkan pemberontakan.
Pada poin ke-3, ia mengatakan bahwa hal itu bisa dicapai dengan memperkuat ikatan dengan bangsa Arab dan Muslim. Poin ke-4, lanjutnya, adalah tentang berinteraksi lebih lanjut dengan masyarakat internasional dan mengembangkan jaring pengaman internasional yang kuat untuk melindungi gerakan Intifada tersebut.
Mengutip, Sumber media Israel pada pertengahan bulan September lalu yang menerbitkan pernyataan berikut : “Pemerintah Netanyahu telah memutuskan untuk menerapkan keputusan pembagian Al-Aqsa dalam 2 tahap: tahap pertama, adalah untuk membatasi kehadiran warga Palestina dengan menargetkan dan menangkap Ulama serta para mahasiswa karena mereka dianggap sebagai ancaman demografi menurut pasukan keamanan Israel.
Tahap kedua, akan mencakup pemberlakuan jam kunjungan setiap hari di mana orang-orang Yahudi bisa masuk Al-Aqsa. Dan Warga Palestina akan dilarang masuk Al-Aqsa selama Yahudi berada di dalam Al-Aqsa. Untuk diketahui, bahwa peraturan seperti ini sebelumnya telah diterapkan pada Masjid Ibrahimi di kota Hebron. ”
Jika kita (Warga Palestina) mematuhi kebijakan pemerintah Netanyahu, kita akan menemukan diri kita di tengah-tengah fait accompli baru yang menghalangi Muslim dari hak dasar mereka untuk beribadah di Masjid Al-Aqsa pada setiap jam setiap harinya.
Ini adalah hak mendasar yang sama bahwa semua umat Muslim di Masjidil Haram kota Mekkah al-Mukarromah atau Masjid Nabawi di kota Madinah al-Munawwaroh.
Sebagaimana diketahui, Masjid Al-Aqsa adalah Masjid tersuci ke-3 dalam tradisi Islam dan kesempatan untuk mengunjungi Al-Aqsa sama pentingnya bagi umat Islam sebagai perjalanan ke 2 Masjid suci di wilayah Arab Saudi itu.
Pada hari Minggu (13/09/2015) di bulan September lalu, serangan IDF (Israel Defense Forces) pada jamaah di Al-Aqsa telah meluas dan menjadi brutal; hampir 100 orang terluka selama serangan pasukan keamanan Israel itu. Beberapa jendela Masjid al-Aqsa hancur dan polisi Israel telah bertindak diluar batas untuk menangkap sejumlah jamaah di dalam Masjid.
Pada Senin malam (14/09/2015), polisi Israel dan pasukan militernya menyerang jamaah untuk ke-2 kalinya, yang menyebabkan 5 jamaah terluka parah dan penangkapan banyak jamaah Al-Aqsa lainnya. Tampak terlihat bahwa pasukan pertahanan dan polisi Israel akan melanjutkan serangan mereka pada jamaah sampai jamaah Al-Aqsa kelelahan dan menyerah pada status quo baru.
Dalam konteks yang sama, Menteri Pertahanan Israel Moshe Ya’alon telah memperingatkan terhadap bahaya menargetkan dan menangkap para mahasiswa, dosen dan Ulama, yang menegaskan pernyataan media Yahudi bahwa Netanayahu secara pribadi mendorong untuk pelaksanaan pembagian Masjidil Aqsa.
Akan muncul bahwa tahap kedua dari rencana Israel diatur untuk mengambil tempat secara bersamaan dengan strategi tahap pertama; Pasukan polisi Israel saat ini melarang jamaah Muslim dari memasuki Masjid Al-Aqsa dari jam 07:00 sampai 11:00 sebelum waktu Shalat Dhuhur. slot waktu yang baru ini adalah waktu yang ditetapkan untuk jamaah Yahudi.
Sheikh Omar Al-Kaswani, Kepala Syekh dan Direktur Masjid Al-Aqsa, mengatakan bahwa polisi Israel telah mengunci pintu utama Masjid dengan rantai dalam upaya untuk menjebak jamaah didalam. Syeikh Kaswani juga menyatakan bahwa pasukan polisi Israel menduduki atap Masjid serta platform yang ada disekitarnya.
Seperti yang diharapkan, reaksi masyarakat pan-Arab telah mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan mereka kepada masyarakat Internasional. Kerajaan Arab Saudi telah berjanji bahwa ia akan mempertahankan Masjid Al-Aqsa dan harus siap menghadapi setiap agresi Israel , dan Universitas Al-Azhar di Kairo mengeluarkan pernyataan yang ditujukan pada pasukan Israel memperingatkan mereka dari serangan balik dan kemarahan Muslim. [IZ]