ADDIS ABABA, (Panjimas.com) – Uni-Afrika (African Union) sedang mempertimbangkan tindakan mendesak untuk menghentikan terjadinya genosida di Burundi, demikian pernyataan Uni-Afrika yang diposting melalui akun Twitter-nya, hari Kamis (17/12/2015), dilansir oleh Anadolu Agency.
Berdasarkan pernyataan Uni-Afrika melalui akun Twitter, anggota-anggota Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni-Afrika, membahas kesiapan dan kemampuan militer dari kawasan Afrika Timur untuk menyiagakan pasukan, diketahui Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika adalah sebuah Badan yang kuat yang bertugas mengerahkan pasukan penjaga perdamaian,
“Akan ada penyebaran kemungkinan penempatan pasukan untuk Burundi,” menurut twit akun resmi Uni-Afrika
“Afrika tidak akan membiarkan genosida berlangsung di wilayahnya,” seperti dikutip dari pernyataan melalui akun twitternya.
Sebuah sumber diplomatik Afrika mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa jumlah pasukan yang direkomendasikan untuk misi Burundi adalah sekitar 5.000 personil.
“Kami akan memulai persiapan untuk mengerahkan pasukan segera,” kata diplomat itu.
Smail Chergui, komisaris Uni Afrika bidang perdamaian dan keamanan, juga melalui akun twitternya mengatakan bahwa “pembunuhan di Burundi harus segera dihentikan”.
Sementara itu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Zeid Ra’ad al-Hussein, hari Kamis (17/12/2015) memperingatkan bahwa Negara itu (Burundi) berada di ambang perang saudara.
Ketidakstabilan telah melanda Burundi sejak bulan April ketika Dewan Nasional untuk Pertahanan Demokrasi beserta Pasukan Penjaga Demokrasinya yang berkuasa di Burundi mencalonkan Pierre Nkurunziza sebagai kandidat Presiden. Untuk diketahui, bahwa Nkurunziza telah berkuasa di Burundi sejak tahun 2005.
Banyak pendukung pihak oposisi, ditambah beberapa pendukung Nkurunziza, dilaporkan telah tewas di tengah kekacauan politik Negara itu.
Menurut perhitungan PBB, sedikitnya 3.496 orang telah ditangkap sehubungan dengan krisis politik di Negara itu.
Seminggu yang lalu, dilaporkan setidaknya 87 orang ditemukan tewas di Bujumbura, ibu kota Burundi pada hari Sabtu (12/12/2015), sehari setelah pemerintah Burundi melaporkan adanya kelompok tak dikenal melakukan serangan terkoordinasi pada 3 instalasi militer, dilansir oleh Al Jazeera News
Juru bicara militer Burundi Kolonel Gaspard Baratuza mengatakan 8 personil keamanan tewas pada serangan hari Jumat lalu itu (11/12/2015).
“Jumlah korban terakhir akibat serangan kemarin mencapai 79 musuh tewas, 45 ditangkap dan 97 senjata berhasil disita, sementara di pihak kami, 8 tentara dan polisi tewas dan 21 lainnya luka-luka” papar Baratuza seperti dikutip oleh kantor berita AFP.
Ketakutan melanda Bujumbura setelah suara pertempuran terdengar sepanjang Jumat minggu lalu dan tembakan sporadic sepanjang malam. Warga bersembunyi di rumah-rumah mereka dan hanya menyisakan personel keamanan berpatroli di jalan-jalan.
“penduduk setempat mengatakan, orang berseragam polisi datang ke daerah pemukiman yang melakukan protes. Warga percaya pembantaian tersebut merupakan respon atas serangan yang ditujukan ke militer hari Jumat,” Malcolm Webb, seorang saksi mata melaporkan kepada Al Jazeera.
“puluhan mayat warga sipil bergelimpangan di jalan-jalan – kebanyakan dari mereka adalah pemuda – tampaknya banyak yang ditembak dari jarak dekat,” kata Webb.
“Semua menjadi korban dalam operasi sapu bersih yang dilancarkan oleh tentara bersama polisi” kata Nkurikiye. “Musuh berhasil dikendalikan.”
3 tentara tewas dalam serangan fajar oleh kelompok tak dikenal di daerah Ngagara, Musaga dan Mujejuru, ujar 2 tentara kepada Associate Press yang meminta identitasnya tak disebutkan.
Aparat keamanan berhasil menewaskan 12 penyerang dan menangkap 20 lainnya, termasuk 1 yang terluka dan dirawat di sebuah rumah sakit militer, kata juru bicara militer Gaspard Baratuza kepada radio pemerintah.
Kekerasan meningkat setelah adanya penolakan terhadap Presiden Pierre Nkurunziza yang menjabatan ke-3 kalinya. Hal ini dinilai oleh banyak masyarakat Burundi dan pengamat asing menentang inkonstitusi dan melanggar perjanjian damai. Perjanjian yang mengakhiri perang sipil di mana 300.000 orang dilaporkan tewas antara 1993 dan 2006.
Menurut laporan PBB, Setidaknya 240 orang tewas sejak bulan April lalu dan sekitar 215.000 lainnya melarikan diri ke Negara tetangga. Ratusan orang lainnya dipenjara karena menentang pemilihan kembali Nkurunziza pada bulan Juli tahun ini.
Untuk diketahui bahwa, bulan Agustus tahun 2004, telah terjadi pembantaian suku Tutsi oleh suku Hutu di Burundi. Ratusan suku Tutsi yang sedang tertidur dibantai oleh milisi-milisi suku Hutu di daerah perbatasan antara Rwanda dan Burundi.
Pemerintah Burundi menuduh milisi-milisi Hutu tersebut didukung atau setidaknya memiliki hubungan dengan Ektrimis Kristen, seperti misalnya skema yang sama telah terjadi pada konflik tahun 1994 di Rwanda dimana lebih dari 800.000 orang tewas dibantai suku Hutu, dilaporkan oleh banyak saksi mata, beberapa pastor katolik dan pendeta Kristen Hutu terlibat dalam pembantaian tersebut, sebelumnya mereka berkata akan melindungi Tutsi di Gereja tetapi mereka menyodorkan dan melaporkan keberadaan mereka kepada milisi ekstrimis Hutu, sehingga dibantai.
Sementara itu di Burundi, mengutip website religion facts, 91,5 % rakyatnya adalah pemeluk Agama Kristen dan 2,8 % adalah pemeluk Agama Islam, sementara 5,7 % lainnya masih memeluk agama rakyat setempat, animisme. [IZ]