KARACHI, (Panjimas.com) – Pakistan telah menyatakan ekspresi keterkejutan mereka mendengar bahwa Arab Saudi pekan ini menyatakan bahwa Pakistan adalah bagian dari aliansi 34 Negara yang baru terbentuk melawan terorisme. Dilaporkan pula bahwa Malaysia dan Indonesia juga telah membantah bahwa mereka akan bergabung dengan aliansi militer itu, dilansir oleh Anadolu Agency.
Menteri Luar Negeri Pakistan, Aizaz Chaudhry, mengatakan kepada wartawan hari Selasa (15/12/2015) bahwa ia telah terkejut mendengar berita mengenai keterlibatan Negaranya dalam aliansi baru itu.
Dia menambahkan bahwa perwakilan diplomatik Pakistan di Riyadh telah diperintahkan untuk menghubungi pemerintah Saudi untuk membahas permasalahan ini.
Pada hari Senin (14/12/2015) , Saudi Press Agency (SPA) melaporkan bahwa 34 Negara-negara Muslim telah sepakat untuk membentuk sebuah aliansi “anti-terorisme” yang akan bermarkas di ibukota Arab Saudi, Riyadh.
Menurut SPA, koalisi ini dibentuk dalam kerangka perjanjian anti-terorisme yang sebelumnya ditandatangani oleh Negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Bersama dengan Arab Saudi, dilaporkan koalisi militer ini termasuk Pakistan, Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, Bangladesh, Turki, Tunisia, Djibouti, Sudan, Palestina, Qatar, Kuwait, Lebanon, Libya, Maladewa, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, dan Yaman, ditambah dengan 13 Negara-negara Afrika.
Indonesia, Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, mengatakan bahwa pihaknya didekati oleh Arab Saudi mengenai kerjasama anti-terorisme, namun mereka memerlukan rincian sebelum mempertimbangkan bergabung dengan ‘aliansi militer’ itu.
Armanatha Nasir, juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengatakan, “penting bagi Indonesia untuk, pertama, memiliki rincian sebelum memutuskan untuk mendukung” setiap aksi militer, katanya.
Namun, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Luhut Pandjaitan mengatakan kemudian, seperti dikutip dari Reuters: “Kami tidak ingin bergabung dengan aliansi militer.”
Malaysia, Negara Muslim lainnya yang dimasukkan oleh Riyadh dalam daftar 34 Negara aliansi, juga membantah turut ambil bagian dalam aliansi militer itu.
Menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Hishammuddin Hussein, mengatakan kepada wartawan bahwa Kuala Lumpur tidak akan bergabung dengan Riyadh, namun akan terus menjadi bagian dari perjuangan internasional melawan terorisme, dilaporan oleh Rakyat Post.
Menteri Pertahanan Malaysia Datuk Seri Hishammuddin Tun Hussein. Saat menanggapi pertanyaan wartawan juga mengatakan bahwa Malaysia tidak berkomitmen melakukan dukungan militer untuk aliansi dan ia akan mengunjungi Arab Saudi segera atas undangan Raja Saudi.
Alasan Malaysia dan Indonesia menolak untuk bergabung Aliansi Militer Islam adalah belum diungkapnya tentang definisi terorisme oleh aliansi tersebut.
Wakil Putra Mahkota Saudi yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Mohammed bin Salman saat mengumumkan koalisi mengatakan bahwa koalisi militer Islam yang baru, akan mengembangkan mekanisme untuk bekerja dengan Negara-negara lain dan Badan-Badan internasional untuk mendukung upaya kontra-terorisme. Ia juga mengatakan bahwa upaya-upaya aliansi tidaklah terbatas hanya untuk memerangi IS.
Seperti diketahui sebelumnya, 34 Negara Aliansi Militer Islam yang dipimpin Saudi yang bertujuan memerangi IS, belum mengungkap jumlah anggaran mereka, wilayah kerjanya, dan kerangka acuan serta definisi terorisme yang akan mengarahkan gerak aliansi ini.
Indonesia, Malaysia dan Oman telah menyesal bergabung dengan koalisi, sementara itu Iran, Irak dan Suriah tidak diizinkan dan diundang untuk bergabung.
Anggota Aliansi termasuk Bahrain, Bangladesh, Benin, Chad, Komoro, Djibouti, Mesir, Gabon, Guinea, Pantai Gading, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libya, Maladewa, Mali, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria, Pakistan, Palestina, Qatar, Arab Saudi, Senegal, Sierra Leone, Somalia, Sudan, Togos, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab dan Yaman.
Sikap Pakistan Membingungkan
Disebutkan bahwa satu-satunya Negara pertama yang memiliki potensi nuklir di dunia Islam, Pakistan, menolak setiap informasi untuk bergabung dengan aliansi tapi kemudian mengumumkan keikutsertaannya.
Pakistan pertama kali telah menolak keikutsertaannya saat Menteri Luar Negeri Aizaz Chaudhry mengatakan kepada para wartawan bahwa ia mengetahui tentang koalisi melalui laporan berita dan menyatakan bahwa Pakistan tidak diajak berunding tentang koalisi.
Namun, juru bicara resmi dari Kementerian Luar Negeri selama konferendi Pers menegaskan bahwa Pakistan telah bergabung dengan aliansi.
Lingkaran jurnalistik Pakistan mengklaim bahwa kebingungan di Kementerian Luar Negeri Pakistan mengenai aliansi ini adalah hasil dari kebingungan antara kepemimpinan Sipil dan Militer Negara ini.
Sumber rekan Jurnalistik Pakistan meyakini bahwa Pakistan menyatakan minatnya untuk bergabung dalam koalisi militer tersebut selama kunjungan Kepala Staff Militer Angkatan Darat Pakistan baru-baru ini ke Arab Saudi dan pertemuannya dengan Raja Salman, sementara pemahaman seperti itu mungkin tidak disampaikan ke kantor Kementerian Luar Negeri.
Aliansi militer ini belum disambut oleh unsur-unsur moderat masyarakat di Pakistan dan Pemimpin Partai terbesar ke-3 di Parlemen, Imran Khan, telah menuntut perdebatan di Parlemen sebelum bergabung ke aliansi tersebut.
Mantan Menteri Luar Negeri Pakistan, Asif Sardar Ahmad Ali, menyebut aliansi ini sebagai malapetaka (bencana) bagi Pakistan saat pernyataannya dalam sebuah acara peluncuran buku pada hari Kamis (17/12/2015) di Lahore.
Senator dari Partai oposisi di Parlemen Pakistan, Partai Rakyat Pakistan (Pakistan People’s Party), Senator Saeed Ghani pada hari Jumat (18/12/2015) mendesak pemerintah untuk memperjelas sikap terkait partisipasi Pakistan dalam aliansi dari 34 Negara-negara Islam melawan terorisme.
Berbicara kepada kru media di luar Gedung Parlemen, ia mengatakan ada kebutuhan untuk mengetahui alasan di balik langkah untuk membangun kekuatan bersama ini, seperti Iran dan Suriah yang tidak termasuk dalam persatuan ini. Untuk mempertanyakan hal tersebut, ia mengatakan bahwa langkah-langkah harus diambil untuk sepenuhnya pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (National Action Plan ) untuk mendapatkan kesuksesan yang menyeluruh melawan terorisme. [IZ]