YOGYAKARTA, (Panjimas.com) – Oleh pemerintah, aliran kepercayaan tidak dianggap agama. Ajaran tersebut dikatagorikan sebagai budaya, tepatnya budaya spiritual. Maka instansi yang menaunginya adalah Dinas Kebudayaan.
Oleh kalangan antropolog, aliran-aliran tersebut dinilai sebagai agama lokal. Sementara para penghayat (penganut) memiliki persepsi yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Menurut keterangan Endang Sulistyaningsih, sekretaris Majelis Luhur DIY, Kamis (10/12/2015) sebuah wadah persatuan antar aliran se-DIY,sebagian besar penghayat masih menjalankan ajaran agama resmi yang dianut. Tetapi sebagian yang lain memang murni hanya menjalankan ajaran alirannya, dan identitas agama pada KTP hanya formalitas semata.
Pada dasarnya, papar Endang, semua aliran keepercayaan memiliki kesamaan, yaitu kebatinan. Beda satu dengan yang lain adalah pada ritual dan persepsi ketuhanan.
Misalnya Paguyuban ASK (Angesti Sampurnaning Kautaman), sebagaimana dijelaskan Endang yang merupakan salah satu penganutnya, terdapat ajaran berdoa dengan bahasa jawa ritual gerak bersujud. Kemudian tentang tuhan, ASK menyebut tuhannya Allah (dibaca seperti lafal orang Kristen). Dan Allah di sini berasal dari nama Halah, yang bermakna, Maha Olah Maha Polah (Maha Pencipta Maha Gerak).
Sebagaimana ASK, paguyuban-paguyuban lain masing-masing memiliki persepsi sendiri tentang Tuhan. [IB]