YANGON, (Panjimas.com) – Dilaporkan bahwa sekelompok pria Muslim telah dipenjarakan di Myanmar karena dituduh menerima pelatihan dari suatu organisasi yang disebut oleh jaksa penuntut umum Myanmar sebagai ” Tentara Muslim Myanmar” (Myanmar Muslim Army) hal ini berbeda dengan pernyataan para pengacara dan pakar keamanan Myanmar yang telah mengatakan hal itu mengada-ada dan tidak terbukti. Demikian dilansir Andolu Agency.
Myanmar Times melaporkan hari Selasa (8/12/2015) bahwa 12 pria Muslim itu berusia antara 19 – 54 tahun, mereka diberi hukuman 5 tahun penjara pada hari Senin [7/12/2015] di pengadilan kota Aung San Myay Thar di Mandalay setelah ditangkap dan ditahan pada14 November hingga 26 Desember tahun lalu.
Mereka didakwa di bawah pasal 5 J Undang-Undang Ketentuan Darurat, yang mana membuatnya illegal untuk “mempengaruhi moralitas atau perilaku masyarakat dengan cara tertentu dianggap dapat merusak keamanan persatuan Myanmar”.
Seorang pengacara yang bekerja dengan organisasi Hak Asasi Manusia Internasional [HAM] segera membantah dan menolak putusan itu, serta mengatakan bahwa pengadilan di Mandalay itu melakukan proses pengadilan yang tidak adil dan mengatakan para terdakwa [12 Muslim] telah disiksa agar melakukan pengakuan.
“Ini adalah ketidakadilan. bahwa jelas tidak ada bukti untuk mendukung vonis ini,” demikian kata Matthew Bugher, seorang konsultan untuk pembelaan Hak terdakwa yang telah memantau jalannya proses persidangan, dalam sebuah pernyataan.
“Vonis ini mengungkapkan kurangnya keadilan, akuntabilitas dan proses yang adil dalam sistem pengadilan dan pemerintahan saat ini.”
Fortify Rights mengatakan bahwa pihak jaksa penuntut menolak untuk memberikan bukti konkret dari dugaan jaringan itu, atau orang-orang yang terkait dengan itu, malahan berulang kali mengutip UU tentang Rahasia Negara.
Pengacara pembela 12 Muslim itu bersama dengan pakar keamanan telah mengatakan bahwa pemerintah Myanmar telah menciptakan hantu organisasi dan menciptakan ancaman terorisme untuk membenarkan penganiayaan mereka terhadap umat Islam.
Dalam sebuah pernyataan hari Ahad [6/11/2015], Fortify Rights menyatakan bahwa pemerintah diduga telah melakukan penyiksaan terhadap para terdakwa.
“Keadilan tidak bisa menang, jika penyiksaan ditoleransi,” kata Matthew Smith, Direktur Eksekutif Fortify.
“Pemerikasaan Pengadilan ini tercemar sampai hal terkait penyiksaan ini benar-benar diperhatikan dan standar proses pengadilan yang adil terpenuhi.”
Fortify mengatakan bahwa terdakwa Soe Moe Aung berusia 24 tahun telah bersaksi di persidangan tanggal 17 September lalu mengatakan bahwa pihak berwenang telah melakukan sesuatu padanya dalam tahanan, membuatnya kekurangan air dan makanan, memberinya makan pil-pil, dan memberikan suntikan yang tidak diketahui tujuannya dan komposisi dalam suntikan itu untuk sekitar 1 minggu.
Sementara Saudara terdakwa, U Nyi Nyi mengatakan kepada Times bahwa 2 dari saudara-saudaranya –keduanya adalah guru agama Islam- telah dipenjarakan sehubungan dugaan kaitan dengan kelompok-kelompok bersenjata – yang mana tuntutan atas saudaranya itu ia meyakini benar-benar tak berdasar dan beralasan.
“Saudara-saudaraku tidaklah bersalah. Mereka adalah orang-orang yang sangat baik, ” demikian kata U Nyi Nyi, saudara dua orang Muslim dari 12 yang dipenjarakan.
Tentang kelompok Muslim Myanmar Army [MMA], hanya sedikit yang diketahui misalnya dalam penyebutan singkat dalam laporan Rajaratnam School of International Studies [RSIS] tahun 2015, dimana Rohan Gunaratna menuliskan laporan yang belum terkonfirmasi kebenarannya tentang munculnya kelompok baru Myanmar Muslim Army [MMA], yang dalam laporan itu disebutkan menggunakan wilayah Thailand untuk melatih muslim Myanmar
Sedikit yang diketahui dari Angkatan Darat Muslim Myanmar di luar penyebutan singkat di 2015 Rajaratnam School of International Studies (RSIS) laporan, di mana Rohan Gunaratna menulis tentang “laporan yang belum dikonfirmasi tentang munculnya kelompok baru yang disebut Myanmar Tentara Muslim (MMA), yang dilaporkan menggunakan wilayah Thailand untuk melatih Muslim Myanmar “.
Keberadaan kelompok ini hingga kini belum dikonfirmasi oleh kelompok Hak Asasi Manusia [HAM], pakar terorisme, atau Departemen Luar Negeri AS.
Dalam laporan bulan November tahun 2003 berjudul “Burma dan Terorisme Internasional” oleh Australian Institute of Policy and Science, Andrew Selth menunjukkan bahwa kemungkinan ada beberapa kebenaran dalam klaim bahwa keberadaan Tentara Muslim Myanmar adalah palsu.
“Sejak bulan September tahun 2001, rezim Rangoon telah berupaya untuk menggunakan rubrik perang global melawan terorisme untuk jubah kampanye baru terkait tindakan diskriminasi mereka terhadap penduduk Muslim Burma di Negara itu,” tulisnya dalam laporan November tahun 2003 terbitan Australian Institute of Policy and Science.
Minoritas Muslim Myanmar sebagian besar terdiri dari Rohingya, yang telah menghadapi penganiayaan luas selama beberapa dekade, tetapi situasi mereka telah menjadi semakin berbahaya sejak kekerasan sectarian meletus pada tahun 2012.
Banyak umat Muslim Myanmar tidak diperbolehkan untuk mendapatkan hak pilih dalam pemilihan 8 November lalu atas dasar alasan kewarganegaraan oleh rezim Rangoon, dan ratusan ribu Rohingya lainya juga tidak dapat memilih karena pemerintah rezim Myanmar memanggil kelompok ultra-nasionalis untuk mengusir, mengucilkan dan melarang mereka masuk wilayah Myanmar, serta dibiarkan dalam hidup dalam kamp-kamp pengungsian.
Fortify Rights adalah sebuah organisasi Hak Asasi Manusia [HAM] non-profit yang berbasis di Asia Tenggara dan terdaftar resmi di Swiss dan Amerika Serikat. [IZ]