BEKASI, (Panjimas.com) – Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab mengonfirmasi polemik ‘sampurasun’ yang dituding oleh salah satu pihak pendukung Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebagai penghinaan terhadap suku Sunda.
Sebelumnya ia mengatakan, agar masyarakat membuka laman web pribadi miliknya www.habibrizieq.com untuk mengetahui duduk persoalan yang terjadi di Kabupaten Purwakarta.
“Di situ (laman web, red) saya jelaskan terkait hinduisasi Purwakarta. Adat Hindu masa lalu mau diterapkan oleh Bupati ke Masyarakat. Salah satunya, setiap bulan purnama. PLN di sana wajib matikan listrik mulai jam 6 sampai 9 malam agar warga nyalakan lilin untuk menyembah bulan purnama,” jelasnya kepada ratusan warga Cikarang Barat, Selasa (8/12) seperti dilansir gobekasi.
“Lalu di setiap gang ada bebegig. Dulu itu untuk menakut-nakuti tikus di sawah. Sekarang ada di setiap gang, dijadikan dewa yang dikasih sesajen. Bupati juga menyebarluaskan patung. Ada patung gatotkaca, ada patung bima, patung Bali. Total ada 60 patung, ia targetkan 1.000 patung,” lanjutnya.
Lalu ia mengatakan, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menpuyai kereta kencana sebagai mas kawin untuk Nyi Roro Kidul. Kereta itu dijaga oleh Nyi Mas Melati, jin wanita.
“Tidak terima diingatkan dia bikin Perbup (Peraturan Bupati) Nomor 70 yang melarang ceramah bernuansa provokatif. Di setiap desa diangkat bafega (jagoan, red) untuk awasi kiai. Kalo ada kiai ceramah diturunin dari mimbar,” ucap pria keturunan Arab-Betawi tersebut.
Mengenai sampuransun, ia mengecam Dedi, jika salam tersebut menjadi ganti untuk Assalamualaikum. “Sunda identik dengan Islam, Sunda bukan Hindu, Sunda cinta habaib, Sunda cinta kiai, masyarakat Sunda taat ajaran Islam. Sampurasun boleh, tapi setelah Assalamualaikum. Jadi, Assalmualaikum, sampurasun. Kan indah,” ungkapnya.
Mengenai istilah campur racun, ia mengatakan upaya yang dilakukan Dedi Mulyadi sebagai hinduisasi masyarakat Sunda yang beragama Islam di Purwakarta dengan segala ritual syirik, pendirian puluhan patung, pembatasan ceramah kiai sebagai upaya ‘campur racun’ masyarakat Purwakarta yang beragama.
Ia mengatakan jika ada pihak tertentu yang mengadu domba ia dengan masyarakat Sunda. Padahal upaya penghinduan masyarakat Sunda seperti apa yang telah dilakukan oleh Bupati Purwakarta justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar Sunda yang erat terkait dengan ajaran Islam.[RN]