BANDUNG, (Panjimas.com) – Organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam yang berbasis di Jawa Barat, Persatuan Islam (Persis), menyarankan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi supaya memilah dan memilih budaya mana yang sesuai dengan agamanya sebagai seorang Muslim dan budaya mana yang tidak sesuai.
“Yang tidak sesuai ditinggalkan, untuk apa meramaikan hal-hal kayak begitu (budaya-budaya musyrik, red),” ungkap Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) KH Maman Abdurrahman yang baru saja menyelesaikan masa jabatannya dalam Muktamar XV kepada wartawan di Kantor MUI Pusat, Jl Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/11). Seperti dilansir Suara Islam.
Maman, yang kini menjabat sebagai salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini menyatakan ketidaksetujuannya terhadap upaya Dedi Mulyadi menghidupkan budaya-budaya Sunda yang bertentangan dengan syariat.
“Saya tidak setuju yang dibesar-besarkan kok adat kebiasaan, padahal di situ berbau syirik,” tandasnya.
Maman juga mengimbau, kepada para ulama di wilayah Purwakarta supaya mengeluarkan fatwa bila kelakuan Dedi Mulyadi diharamkan dalam Islam.
Sebagai lembaga penjaga akidah umat, MUI setempat juga diminta untuk menjauhkan masyarakat dari ajaran-ajaran syirik.
Seperti diketahui Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, sejak memimpin Purwakarta terus berusaha menghidupkan kembali ajaran Sunda Wiwitan, sehingga ia menghiasi Purwakarta dengan aneka patung pewayangan seperti patung Bima dan Gatotkaca, bahkan ditambah dengan aneka patung Hindu Bali.
Dia pun mengaku telah melamar Nyi Loro Kidul dan mengawininya. Selanjutnya, ia membuat Kereta Kencana yang konon katanya untuk dikendarai sang isteri, Nyi Loro Kidul. Kereta Kencana tersebut dipajang di Pendopo Kabupaten Purwakarta, dan diberi kemenyan serta sesajen setiap hari, lalu dibawa keliling Purwakarta setahun sekali saat acara Festival Budaya, dengan dalih untuk membawa keliling Nyi Loro Kidul buat keberkahan dan keselamatan Purwakarta.
Dedi juga menganjurkan agar siapa yang mau selamat lewat di jalan Tol Cipularang agar menyebut nama Prabu Siliwangi. Dan beberapa tahun lalu, Dedi juga pernah menyatakan bahwa suara seruling bambu lebih merdu daripada membaca Alquran.
Selain itu, pohon-pohon di sepanjang jalan kota Purwakarta diberi kain “Poleng”, yaitu kain kotak-kotak hitam putih, bukan untuk “keindahan”, tapi untuk “keberkahan” sebagaimana adat Hindu Bali, dan Dedi pun mulai sering memakai ikat kepala dengan kembang seperti para pemuka adat dan agama Hindu Bali.
Dedi tidak bangga dengan Islamnya, tapi ia bangga dengan patung, sesajen dan takhayulnya, yang dikemas atas nama kearifan lokal (local wisdom).