JAKARTA (Panjimas.com) – Direktur Eksekutif Pusat HAM Islam Indonesia (PUSHAMI), Muhammad Hariadi Nasution SH MH, kecewa dengan sikap standar ganda yang dilakukan aparat kepolisian terkait kasus bom Alam Sutera.
Ia menilai, sikap Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti yang tak memasukkan Leopard, pelaku bom Alam Sutera yang beragama Kristen Katolik, dalam kategori terorisme adalah bukti adanya standar ganda dan sikap diskriminatif.
“Ini nyata dan jelas, Undang Undang Terorisme itu adalah Undang Undang yang sangat diskriminatif. Itu Undang Undang hanya diciptakan untuk umat Islam,” kata Muhammad Hariadi Nasution saat dihubungi Panjimas.com, Jum’at (30/10/2015).
Padahal, dalam Undang Undang Terorisme, perbuatan Leopard yang melakukan pemboman di Mal Alam Sutera sudah memenuhi unsur tindak pidana terorisme. (Baca: Leo, Pelaku Bom Alam Sutera Beragama Katolik, Kapolri: Bukan Terorisme!)
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
- Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
- Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
“Kalau kita lihat perbuatan dia, unsur perbuatan terorisme itu sudah cukup dan jelas,”ujarnya.
Sementara sikap Kapolri yang menyatakan tidak adanya jaringan, sehingga tak bisa dijerat menggunakan Undang Undang Terorisme, sangat tidak tepat.
“Alasan polisi tidak tersangkut sel atau jaringan terorisme, sementara di dalam Undang Undang itu tidak dibilang bahwa harus ada terkait dengan jaringan terorisme. Jadi tidak ada itu! tindakan terorisme ya terorisme,” tegasnya.
Pria yang akrab disapa Ombat ini juga menegaskan bahwa ada atau tidaknya jaringan sama sekali tidak berpengaruh. Sebab yang dihukum adalah tindak pidananya, bukan jaringannya.
“Tapi kalau nanti orang Islam misalnya dengan kejadian yang sama, tidak ada jaringan, nanti dia bilang itu jaringan baru, begitu dia gampang. Itu yang kita sayangkan,” tandasnya. [AW]