JAKARTA (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada dasarnya sudah memberikan imbauan kepada kaum Muslimin untuk mewaspadai sekte Syiah sejak lama.
Dalam Rapat Kerja Nasional (Mukernas) bulan Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984 M, MUI telah mengeluarkan rekomendasi tentang faham Syiah. Dimana menurut MUI, faham Syiah memiliki perbedaan pokok dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Memandang hal tersebut, Sekjen Forum Indonesia Peduli Syam (FIPS), Ustadz Abu Harits Lc menyatakan, bahwa hasil musyawarah MUI tersebut sudah lebih tinggi ketimbang fatwa.
“Sebenarnya MUI sudah mengeluarkan hasil musyawarah pada tahun 1984 -namanya hasil musyawarah mufakat itu melebihi fatwa- dimana di dalamnya MUI menyebutkan bahwa Syiah ini adalah aliran sesat yang tidak layak menyebar di tengah-tengah masyarakat kaum Muslimin Indonesia,” kata Ustadz Abu Harits di Kantor FIPS, Jalan Tebet Utara III D, Jakarta Selatan, pada Selasa (27/10/2015).
Oleh sebab itu, sekalipun fatwa sesat tentang Syiah hingga kini belum juga dikeluarkan oleh MUI Pusat, dasar pijakan hasil Mukernas pada bulan Maret 1984 silam sudah lebih dari cukup menjadi dasar menyikapi Syiah. Lebih lengkapnya, berikut ini hasil Mukernas MUI.
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984 M merekomendasikan tentang faham Syi’ah sebagai berikut:
Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan itu di antaranya :
- Syi’ah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu musthalah hadits.
- Syi’ah memandang “Imam” itu ma ‘sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
- Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
- Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan umat.
- Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ibnul Khatthab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.
Ditetapkan di Jakarta, 7 Maret 1984 M
4 Jumadil Akhir 1404 H
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua Sekretaris
Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML H. Musytari Yusuf, LA