ACEH SINGKIL, (Panjimas.com) – Berdasarkan kesepakatan bersama antara umat Islam dan umat Kristiani, terdapat 10 gereja yang dieksekusi Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Sejak tanggal 19 Oktober 2015, telah dilakukan pembongkaran oleh Pemkab dengan cara mencicil. Dari 24 gereja, ada 10 rumah ibadah illegal yang dibongkar. Maka, kini, tinggal 14 rumah ibadah.
“Yang tersisa ini, harus segera menyelesaikan persyaratan pendirian rumah ibadah dengan tenggat waktu 6 bulan dari sekarang. Jika tidak diselesaikan pengurusannya dalam waktu 6 bulan, maka gereja yang tersisa tersebut, tidak tertutup kemungkinan, akan dilakukan eksekusi jilid II,” ujar Kepala Kemenag Salihin Mizal kepada JITU di ruang kerjanya, Kantor Kemenag Aceh Singkil, belum lama ini.
Senada dengan Kemenag, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Singkil, H. Rasyiduddin SH, mengatakan, sisa gereja yang belum dieksekusi, diberi keesempatan untuk mengurus perizinan pendirian rumah ibadah selama 6 bulan.
“Jika tidak ada izinnya, maka kewenangan pemerintah, sesuai SKB 2 Menteri Tahun 2006 dan Pergub No. 25 Tahun 2007, akan ada eksekusi jilid 2.”
Menurut Salihin Mizal, disharmoni hubungan umat beragama pernah terjadi saat Aceh Singkil masih bergabung dengan Kabupaten Aceh Selatan tahun 1979. Ketika itu telah terjadi kesepakatan, dan hasil kesepakatan itu hingga saat ini masih mengikat.
Secara administrasi pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil, sesungguhnya didasari oleh regulasi, bukan hanya yang tertulis, tapi juga yang tidak tertulis.
“Harus dipahami bersama, regulasi atau aturan, baik tertulis maupun yang tidak tertulis (kearifan lokal) adalah sah secara hukum. Local wisdom yang tidak tertulis itu harus diakui dan dihargai,” kata Salihin Mizal.
Kesepakatan antara umat Islam dan Kristen ketika itu adalah diperbolehkannnya bangunan 1 gereja dan 4 undung-undung. Meski tak berizin, inilah bentuk toleransi umat Islam Aceh Singkil kepada saudara non muslim. Ternyata, dalam rentang waktu 1979-2001, ada usaha pendirian rumah ibadah yang tidak memenuhi syarat.
“Mereka mendirikan rumah ibadah tanpa ada pemberitahuan,” jelasnya.
Salihin melanjutkan, ketika rumah ibadah ilegal itu berkembang menjadi 24 buah, kerukunan umat beragama di Aceh Singkil menjadi terusik (2001). Padahal syarat untuk membangun rumah ibadah di Aceh Singkil harus mengacu pada SKB 2 Menteri Tahun 2006 dan Pergub No. 25 Tahun 2007.
“Yang jelas, kerukunan umat beragama di Aceh Singkil secara umum sangat baik,” kata Kepala Kemenag Aceh Singkil.[Desastian/JITU]