ACEH SINGKIL, (Panjimas.com) – Kepala Kemenag Kabupaten Aceh Singkil, Salihin Mizal, membantah jika pemerintah dinilai lamban mengeksekusi rumah ibadah ilegal. Menurutnya, proses yang sedang dijalankan itu merupakan bentuk toleransi.
“Tapi kemudian umat Islam Aceh Singkil terprovokasi, yang seharusnya penertiban dilakukan pada 19 Oktober 2015, masyarakat bertindak sendiri,” ujar dia kepada JITU di ruang kerjanya, Kantor Kemenag Aceh Singkil, belum lama ini.
Kemenag Aceh Singkil juga membantah, bahwa pihak pemerintah mempersulit pendirian rumah ibadah. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, bertugas untuk memayungi semua agama di Aceh Singkil.
Karenanya, tak satu agama apapun yang dipersulit untuk dikeluarkan rekomendasinya.
“Hanya saja ada catatan tersendiri dalam memberikan rekomendasi untuk menjaga Aceh Singkil dari aliran keagamaan yang menyimpang.”
Dikatakan Salihin, perizinan tersebut menjadi wewenang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang terdiri dari berbagai tokoh agama untuk membahas secara bersama. Adapun Kemenag tugasnya hanya memberi rekomendasi, bukan pihak yang memberikan perizinan pembangunan rumah ibadah.
“Sekali lagi, harus diluruskan, tugas Kemenag hanya memberi rekomendasi saja. Tentu, jika telah terpenuhi standar Pergub. Jadi bukan tugas kemenag yang memberi izin mendirikan rumah ibadah. Yang memberi izin pendirian rumah ibadah tetap Pemerintah Daerah.”
Perizinan itu, kata dia, harus melalui dukungan dari tingkat desa, persetujuan masyarakat, lalu direkomendasi kepada KUA, Camat, dan dilanjutkan pada FKUB. Setelah itu FKUB menyerahkannya kepada Kemenag. Selanjutnya, Kemenag menyampaikannya kepada Pemerintah Daerah. Kemenag memastikan, selama ini pendirian rumah ibadah non muslim belum memenuhi syarat.
“Kemenag melakukan verifikasi, apakah KTP yang dkumpulkan itu benar atau tidak. Di sebuah wilayah, ternyata ada masyarakat muslim yang tidak menandatangani, tapi kemudian tandatangannya tertera dalam sebuah lampiran,” tukas Salihin.
Sementara itu, Anggota Majelis Permuswaratan Ulama (MPUAcehTgk Zainal Abidin Tumengger menerangkan, beberapa kali Pemerintah Daerah Aceh Singkil melakukan penyegelan terhadap gereja ilegal sejak 1979 hingga 2015. Namun, rumah ibadah ilegal yang telah disegel pemerintah, secara diam-diam dibuka kembali oleh pihak Nasrani, dan digunakan untuk beribadah.
“Mereka kembali melakukan pelanggaran yang telah disepakati. Bahkan, secara bertahap, membangun rumah ibadah di tempat yang berbeda. Pelanggaran inilah yang diprotes masyarakat muslim Aceh Singkil,” tandas Zainal.
Yang menjadi masalah sesungguhnya, kata Zainal, adalah tidak adanya peraturan yang bersifat permanen. Misalnya, ketika masyarakat meminta Pemkab untuk menertibkan rumah ibadah ilegal, Bupati kerap meremehkan tuntutan masyarakat muslim.
“Deadline waktu satu minggu untuk eksekusi, yang terjadi justru mengulur-ulur waktu. [Desastian/JITU]