ACEH SINGKIL, (Panjimas.com) – Selama ini dasar hukum pendirian rumah ibadah di Kabupaten Aceh Singkil mengacu pada Peratutan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB 2 Menteri Nomor 8/9 Tahun 2006), dan Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah Nanggroe Aceh Darussalam.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Dalam Negeri Nomor 8/9 Tahun 2006 adalah kebijakan yang mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Aceh sebagai wilayah yang mempunyai kekhususan, juga memiliki aturan khusus tentang pendirian rumah ibadah. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Pergub Nanggroe Aceh Darussalamtersebut ditetapkan dan diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 19 Juni 2007 (4 Jumadil Akhir 1428). Pergub tersebut ditandatangai oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf dan Sekretaris Daerah Husni Bahri Tob.
Dalam Bab I (Ketentuan UMUM) Pasal 1 dijelaskan, Peraturan Gubernur tersebut melibatkan: Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, Camat, Lurah, Keuchik Kepala Pemerintah Gampong, Ormas Keagamaan, Pemuka Agama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Panitia pembangunan rumah ibadah.
Dalam Bab II, Syarat Pendirian Rumah Ibadat (Pasal 2) diterangkan, pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/gampong.
Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak menganggu ketentraman dan ketertiban umum serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/gampong tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau Kabupaten/Kota atau Provinsi.
Selanjutnya dalam Pasal 3 dijelaskan, pendirian rumah ibadat harus mematuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung; Selain itu, pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi : Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 150 (Seratus lima puluh) orang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
Kemudian mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 (seratus dua puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Geuchik setempat;
Selanjutnya mendapat rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota.
Bila persyaratan tersebut terpenuhi, sedangkan persyaratan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 (seratus dua puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Geuchik setempat belum terpenuhi, maka Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi bangunan rumah ibadat.
Kemudian Pasal 5 menjelaskan, permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat. Bupati/Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan.
Pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan kerena perubahan rencana tata ruang wilayah.
Pada Bab III tentang Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung diatur dalam Pasal 7, yakni:Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari Bupati/Walikota dengan persetujuan Camat setempat secara tertulis dengan memenuhi persyaratan : a. Laik Fungsi; dan b. Pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama, ketentraman dan ketertiban masyarakat meliputi: a. Izin tertulis pemilik bangunan; b. Rekomendasi tertulis Lurah/Geuchik; c. Pelaporan tertulis kepada FKUB Kabupaten/Kota; dan d. Pelaporan tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh Bupati/Walikota diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota. Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat berlaku paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 9 menjelaskan, penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara dapat dilimpahkan kepada Camat, setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota.[Desastian/JITU]