ACEH SINGKIL, (Panjimas.com) – Saat menginjak di bumi Aceh Singkil, seringkali kita mendengar istilah undung-undung ketika menyebut salah satu rumah ibadah yang tidak jelas kriterianya. Akibatnya, menjadi sulit membedakan mana gereja dan mana undung-undung, mengingat undung-undung sudah seperti bangunan gereja.
Barangkali hanya di Aceh Singkil kita mendengar sebutan undung-undung. Lalu apa itu undung-undung, apa kriterianya, dan apa yang membedakan gereja dengan undung-undung?
Menurut Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Singkil, KH. Rasyiduddin SH, undung-undung adalah sebuah bangunan rumah ibadah yang bentuk dan fungsinya menyerupai seperti bangunan langgar atau musholla.
Awalnya, pasca konflik di tahun 1979 – tepatnya 11 Juli 1979, telah dibuat kesepakatan bersama di Lipat Kajang, melalui sebuah surat perjanjian yang ditandatangani secara bersama oleh 8 ulama perwakilan umat Islam dan 8 pengurus gereja perwakilan umat Kristen.
Pertemuan itu disepakati untuk tidak melaksanan pendirian maupun rehab gereja sebelum mendapat izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
Kesepakatan itu adalah dibolehkannya pembangunan 1 unit gereja di Kampong Kuta Kerangan Kecamatan Simpang Kanan ukuran 12 x 24 meter dan tidak bertingkat.
Beberapa tahun kemudian, 11 Oktober 2001, sebagai wujud nyata atas toleransi umat Islam Aceh Singkil kepada umat Kristen, diberikan izin 4 buah undung-undung, yakni: 1 unit undung-undung di Kampong Keras Kecamatan Suro, 1 unit undung-undung di Kampong Napagaluh Kecamatan Danau Paris, 1 unit undung-undung di Kampong Suka Makmur Kecamatan Gunung Meriah, dan 1 unit undung-undung di Kampong Lae Gecih Kecamatan Simpang Kanan.
Apabila terdapat gereja atau undung-undung selain itu, maka harus dibongkar oleh umat Kristen itu sendiri. Dalam hal ini, umat Kristen harus menepati janji dan mentaati hukum, aturan dan perjanjian yang telah disepakati. Kenyataannya, bukannya dibongkar, tapi malah memperbanyak bangunan gereja baru dan direhab.
Faktanya, hari ini jumlah gereja dan undung-undung di Kabupaten Aceh Singkil bertambah banyak. Forum Umat Islam Aceh Singkil mencatat, terdapat 27 unit bangunan rumah ibadah tanpa izin dan melanggar SKB 2 Menteri No 8/9 dan Pergub Aceh No 25 Tahun 2007.
Setelah disepakati bersama, umat Islam di Aceh Singkil tak lagi mengutak-atik ataupun mengusik bangunan rumah ibadah tersebut, baik gereja maupun undung-undung (1 gereja dan 4 undung-undung).
“Asal jangan gereja, umat Islam masih membolehkan bangunan yang lain. Ketika itu muncul lah istilah undung-undung dari mulut seorang pendeta, dalam hal ini dari pihak Kristen. Tapi rupanya, itu akal-akalan mereka untuk menipu umat Islam. Bangunan yang mulanya kecil lalu direhab menjadi besar,” ungkap Rasyiduddin, ketua MPU Aceh Singkil kepada Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Selama ini yang menjadi dasar hukum pendirian rumah ibadah di Kabupaten Aceh Singkil adalah mengacu pada Peratutan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB 2 Menteri Nomor 8/9 Tahun 2006, dan Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah Nanggroe Aceh Darussalam.
Istilah Undung-undung
Lalu apa itu undung-undung? Kepala Kantor Kementerian Agama Aceh Singkil, Salihin Mizal, mengaku belum sepenuhnya memahami apa yang menjadi kriteria undung-undung yang berfungsi sebagai rumah ibadah. Mengingat belum ada kriteria yang jelas dari Pemerintah Pusat. Sepengetahuannya, istilah undung-undung hanya ada di Aceh Singkil, dan tidak dikenal di luar Aceh.
“Pernah kami tanya dengan orang tua disini apa itu undung-undung, lalu dijawab, undung-undung adalah sebuah pondok kecil di tengah sawah untuk menjaga padi di sawah tidak dimakan burung. Sampai hari ini istilah undung-undung tidak jelas. Kalau gereja kan jelas kriterianya, tapi kalau undung-undung masih belum jelas,” ujar Salihin Mizal yang ditemui JITU di ruang kerjanya.
Salihin berharap, Pemerintah Pusat sebagai pengambil kebijakan perlu merumuskan kembali apa itu undung-undung. Dalam peraturan yang ada, selama ini dikenal dengan gereja, bukan undung-undung. Bukan tidak mungkin, istilah undung-undung digunakan sebagai cara untuk mengakali agar rumah ibadah non muslim itu terus berkembang hingga menjadi bangunan permanen seperti gereja. Sehingga menjadi sulit membedakan mana undung-undung dan mana gereja.
“Karena itu, perlu dibuat standar yang jelas dari Pemerintah di tingkat pusat maupun daerah dengan istilah undung-undung tersebut. Kalau tidak dibahas tidak akan selesai-selesai,” kata Salihin.[Desastian/JITU]