ACEH SINGKIL, (Panjimas.com) – Aliansi Ormas Islam Sumatera Utara menegaskanperistiwa kerusuhan pada 13 Oktober 2015 di Aceh Singkil tidaklah berdiri sendiri.
Ada serangkaian kekecewaan masyarakat Aceh Singkil terhadap Pemerintah Kabupaten Aceh setempat sejak tahun 1979, yang tidak bergerak cepat menertibkan gereja-gereja liar di Aceh Singkil.
Kesabaran umat Islam Aceh Singkil selama 36 tahun yang lalu sangat beralasan jika kehadiran gereja dan undung-undung tak berizin di wilayah ini dibiarkan begitu saja. Bahkan jumlahnya semakin banyak.
“Padahal sebelumnya pernah ada kesepakatan antara umat Islam dengan kaum Nasrani yang berdomisili disini, bahwa hanya boleh dibangun 1 gereja dan 4 undung-undung. Berganti tahun, keberadaan gereja dan undung-undung (sejenis langgar) yang tak sesuai dengan SKB 2 Menteri malah semakin menggurita, ” ujar Ketua rombongan Aliansi Ormas Islam Sumut, Rahmad Gustin kepada anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) di Aceh Singkil, Sabtu (17/10).
Pemerintah Aceh yang punya kekhususan dalam regulasi pembangunan rumah ibadah, tidak diindahkan oleh pihak Nasrani, sehingga mereka tanpa izin membangun gereja liar. Inilah yang membuat masyarakat muslim Aceh Singkil resah.
“Sebetulnya, dua hari sebelum kejadian (11/10), pihak keamanan sudah mengetahui masalah ini, stabilitas cukup memanas di Aceh Singkil. Pihak aparat beralasan, tak punya personil yang memadai untuk mengamankan sejumlah titik konsentrasi massa.”
Tuntutan masyarakat Muslim Aceh Singkil saat itu adalah mendesak agar Pemkab Aceh Singkil membongkar 20 gereja liar yang tak berizin. Seharusnya, rencana pembongkaran itu dilakukan pada tanggal 19 Oktober, namun umat Islam Singkil Aceh yang sempat berdemo ke kantor Bupati akhirnya bertindak sendiri. Pemkab Aceh Singkil dinilai lamban untuk melakukan pembokaran secepatnya.
“Ada kesan, Aceh Singkil ingin dibuat seperti DOM di masa lalu. Situasi di mana tentara menenteng senjata dimana-mana. Ini menimbulkan ketidaknyamanan warga pendatang dan penduduk yang bermukim disini. Kita serukan kepada pihak keamanan untuk segera meredam dan menyelesaikan masalah di Kabupaten Aceh Singkil,” ungkap Rahmad Gustin.
Tim Pencari Fakta bentukan Aliansi Ormas Islam Sumut, selain melakukan investigasi dan advokasi terhadap korban yang terkena tembakan, juga mendampingi tiga tahanan dari pihak muslim Aceh Singkil yang kini ditahan Polres Aceh Singkil.
Hasil investigasi Tim Pencari Fakta yang telah terbentuk ini diharapkan dapat mengetahui dan menjelaskan kepada masyarakat tentang kejadian yang sebenarnya.
“Sangat disayangkan, jika media yang mengedepankan prinsip bad news is a good news hanya memberitakan sisi pembakarannya saja, tapi tidak diurai penyebab dan latar belakang kenapa kerusuhan di Aceh Singkil bisa terjadi. Akibatnya timbul asumsi publik seraya menjustifikasi, seolah muslim Aceh tidak toleran,” kata Rahmad Gustin. [ Desastian/JITU]