JAKARTA, (Panjimas.com) – Keputusan Pemerintah yang akan menetapkan tanggal 22 Oktober 2015 sebagai Hari Santri Nasional, mendapatkan protes dari Prof Dr Din Syamsudin.
“Adalah tidak tepat, taktis dan strategis adanya Hari Santri Nasional, karena hal itu dapat mengganggu persatuan bangsa. Dikotomi Santri-Abangan adalah upaya intelektual orang luar untuk memecah belah umat Islam degan mengukuhkan gejala budaya yang sesungguhnya bisa berubah (process of becoming) tersebut ” ujarnya. Jumat, (16/10/2015).
Sejak beberapa waktu lalu Alm. Bapak Taufik Kiemas, yang kami dukung, berupaya untuk mencairkan dikotomi tersebut, termasuk mencairkan dikotomi Islamisme-Nasionalisme. Salah satu pengejawantahannya adalah didirikannya Bamusi di lingkungan PDIP. Adanya Hari Santri Nasional berpotensi mengganggu upaya luhur tadi. Menguatnya “Kaum Santri” bisa mendorong menguatnya “Kaum Abangan”.
“Tentu Pemerintah akan kerepotan jika ada desakan untuk adanya Hari Abangan Nasional.” tambahnya.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah tersebut melanjutkan, Apalagi Hari Santri Nasional dikaitkan dengan tanggal dan peristiwa tertentu (Resolusi Jihad 22 Oktober), adalah penyempitan atau reduksi jihad para pahlawan yang sudah dimulai ber abad-abad sebelumnya termasuk sebelum kemerdekaan yang lebih bersifat luas, bukan dikaitkan dengan kelompok tertentu. Juga, penekanan pada resolusi jihad yang lebih berona fisikal/harbi menjadi penghambat upaya jihad selama ini ke arah lebih luas (jihad iqtishadi/ekonomi, jihad ‘ilmi/iptek, jihad i’lami/informasi).
“Hari Nasional kecuali hari-hari besar keagamaan,haruslah menjadi hari bagi semua elemen bangsa. Maka kalau terpaksa harus ada Hari Santri karena fait-a-compli politik pada saat Pilpres, mungkin bisa dicari tanggal lain, dan Hari Santri dengan inti kesantrian bisa dikaitkan dengan Pancasila, khususnya Sila Pertama. Dalam hal ini, kesantrian adalah buah pengamalam Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pungkasnya.