SOLO, (Panjimas.com) – Komunisme adalah sebuah paham yang menekankan kepemilikan bersama atas alat-alat priduksi (tanah, tenaga kerja, modal) yang bertujuan untuk tercapainya masyarakat yang makmur, masyarakat komunis tanpa kelas dan semua orang sama. Komunisme ditandai dengan prinsip sama rata sama rasa dlam bidang ekomomi dan sekularisme yang radikal tatkala agama digantikan dengan ideologi komunias yang berseifat doktriner. Jadi, menurut ideologi komunis, kepentingan-kepentingan individu tunduk kepada kehendak partai, negara dan bangsa termasuk kepercayaan pada Tuhan yang tidak diakui karena dianggap sebagai candu yang melenakan manusia.
Bagi bangsa Indonesia sendiri paham Komunis terorganisisr dibawah Partai Komunis Indonesia (PKI) tercatat telah dua kali melakukan pemebrontakan. Pertama, pada tanggal 18 September 1948 pernah melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah RI di Madiun. Tujuannya ingin mendirikan negara komunis dengan jalan kekerasan dan pembunuhan. Pada waktu itu banyak para ulama, TNI, tokoh masyarakat serta rakyat yang tidak berdosa lainnya menjadi korban kebiadabannya. Meskipun PKI waktu itu telah berhasil ditumpas oleh TNI bersama kaum santri, namun diyakini mereka yang tersisa masih tetap berbahaya, dan akarnya bisa tumbuh sewaktu-waktu.
Hal itu terbukti pada tahun 1950. PKI berhasil ikut dalam kehidupan partai politik, terutama pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965 PKI semakin giat melancarkan segala bentuk propagandanya. PKI melancarkan pula aksi-aksi sepihak dan tindakan pisik lainnya. Yang mereka anggap menghalangi atau lawan, mereka bunuh dan yang mereka anggap teman mereka rangkul dan dilindungi.
Dikota Solo sendiri, merupakan salah satu kota yang menjadi basis pengikut PKI. Pasca pemilihan umum tahun 1955, hampir seluruh pejabat dari tingkat Kota hingga pengurus RT dikuasai oleh anggota ataupun simpatisan PKI. Sebagai contoh Walikota Solo saat itu Oetomo Ramelan adalah tokoh dari PKI.
Utomo Ramelan awalnya adalah guru namun masuk politik dan bergabung dengan PKI. Ketika G30SPKI meletus, Utomo mendukung Dewan Revolusi. Saat G30S berhasil dipadamkan dan tentara bergerak menuju Solo, Utomo Ramelan diciduk. Ketika para tahanan PKI diikat, dan dibariskan oleh tentara (mungkin menuju tempat eksekusi), Utomo Ramelan diperlakukan lain. Dirinya diikat dan dimasukkan ke dalam kandang semacam kandang hewan di kebun binatang. Nasibnya tak jelas, kemungkinan besar dieksekusi.
Jauh sebelum itu di Solo juga muncul tokoh Komunis yaitu Haji Misbah, Raden Ajeng Soetarni, istri politikus Partai Komunis Indonesia, Njoto juga berasal dari Kota Solo tepatnya di daerah Mojosongo Jebres.
Oleh karena itu, tak heran jika kehidupan para ulama dan keluarganya selalu mengalami intimidasi yang tidak menyenangkan. Setelah itu pula beberapa rangkaian konfrontasi terhadap umat Islam terus berlanjut.
Menjelang aksi pemberontakan, atas perintah dari pusat, terjadilah propaganda yang dialamatkan untuk organisasi-organisasi Islam. Di kota Solo sendiri hampir bentrokan fisik terus terjadi. Misalnya terjadi pengeroyokan dan pembubuhan sekelompok remaja masjid di Desa Giriroto, Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali. Selain itu ada juga bentrokan yang terjadi di daerah Jayengan, Jagalan, Pajang, Sambeng dan beberapa tempat lainnya. Peristiwa itu juga dibarengi dengan munculnya tanda silang merah pada setiap rumah masyarakat muslim yang ideologis. Akhir-akhir ini diketahui bahwa tanda tersebut merupakan kode, dimana rumah yang bertanda dalah target “pembersihan” musuh PKI.
Puncaknya, bersamaan dengan terjadinya pemberontakan di Jakarta pada 30 September hingga 1 Oktober dini hari, Dengan kekuatan Batalyon M Kodam VII / Diponegoro, G3OS/PKI juga melakukan gerakannya di Solo. Gerakan itu diawali dengan penculikan. Mereka menculik Komandan Brigade 6 Kolonel Azahari, Kepala Staf Brigade 6 Letnan Kolonel Parwoto, Kepala Staf Kodim 735 Mayor Soeparman, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten Prawoto dan Komandan Batalyon M, Mayor Darso. Selain melakukan penculikan, mereka juga melakukan pendudukan terhadap kantor RRI, telekomunikasi dan bank-bank negara. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Wali Kota Solo, Oetomo Ramelan, melalui RRI mengumumkan dukungannya kepada G3OS/PKI.
Menurut Modrick Sangidu, salah satu saksi sejarah peristiwa pemberontakan PKI mengatakan, menjelang peristiwa tahun 1965 sedikitnya ada 23 orang yang dibunuh secara terbuka di bundaran Gladak. Dan sedikitnya ada lebih dari 285 umat muslim di Boyolali dan Klaten juga dibunuh secara sadis.
Penguasaan pemerintahan oleh PKI di Kota Solo bisa ditumpas, setelah adanya gerakan pengambil alihan kekuasaan oleh ABRI. Bahkan DN Aidit, ketua CC PKI juga berhasil ditangkap di daerah Sambeng Manahan Solo.
Oleh karenanya selaku tokoh umat Islam di Kota Solo, dengan tegas beliau menolak untuk diadakannya wacana rekonsiliasi guna mengakhiri polemic bagi keluarga korban pelanggaran HAM peristiwa 30 S/PKI. Selain itu, Peran aparat juga dituntut untuk lebih serius dalam menangani potensi kembali bangkitnya paham komunis di Indonesia.
“Pemerintah ini harus tegas dan waspada. Tidak ada rekonsiliasai. Masayarakat Solo sudah trauma, tidak bisa hal itu dipaksakan. Jadi jangan sampai kecolongan, jika tidak mungkin saja nanti terjadi benturan rakyat lagi.” Demikian ungkap Mudrick.[Sdq]