JAKARTA (Panjimas.com) – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Maneger Nasution mengungkapkan bahwa Komnas HAM telah melakukan penyelidikan di lapangan terkait insiden tolikara.
Penyelidikan itu dilakukan Komnas HAM sejak 21 Juli 2015. Dalam kegiatan tersebut, Komnas HAM telah melakukan pertemuan dengan para tokoh Islam, pimpinan pemerintahan, aparat terkait dan tokoh GIDI.
“Kita mulai ketemu dengan DPRD Papua, kemudian kita ketemu dengan tokoh-tokoh Islam di Papua; ada ketua Muhammadiyah, ada ketua NU, teman-teman MUI dan beberapa tokoh-tokoh yang lain, kita ketemu dengan Pendeta Dorman, Presiden GIDI, bersama dengan Ketua Pemuda GIDI,” kata Maneger Nasution dalam Dialog tentang Intoleransi di Tolikara yang digelar di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta Selatan, pada Jum’at (11/9/2015).
Namun, ada hal mencengangkan ketika Komnas HAM menemui Ketua DPRD dan Wakil Ketua DPRD Tolikara. Meski berasal dari berbagai macam partai, termasuk partai Islam, ternyata Ketua dan Wakil Ketua DPRD tersebut semuanya berasal dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI.)
“Kita ketemu dengan Bupati Tolikara, ketemu dengan Pimpinan DPRD Tolikara, ketuanya dari Gerindra, wakil ketuanya dari PKB, dari PAN dan satu lagi dari PKS. Inilah pimpinan DPRD yang sangat beragam, walaupun setelah kita dalami ternyata itu teman-teman GIDI semua. Jadi sebetulnya Ketua DPRDnya itu GIDI, Wakil Ketua DPRDnya GIDI juga, walaupun dari PKS, walaupun PAN dan walaupun dari PKB,” ungkapnya. (Baca: Innalillahi, Ternyata Anggota DPRD dari Tiga Partai Islam Ikut Setujui Perda Diskriminatif di Tolikara)
Maka, sangat wajar jika Komnas HAM menemukan adanya Perda intoleran yang disetujui oleh Anggota DPRD Tolikara dan ditandatangani Bupati Tolikara, Usman G Wanimbo. (Baca: Astaghfirullah, Temuan Komnas HAM: Perda Intoleran di Tolikara Larang Muslimah Berjilbab)
“Bupati mengaku itu usulan dari GIDI dan kemudian diakomodir dan disampaikan ke DPRD dan membuat Perda itu,” kata Maneger Nasution kepada wartawan di ruang pengaduan Komnas HAM, Jalan Latuharhari No. 4 B, Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (06/8/2015).
Dalam Perda intoleran tersebut, ada tiga hal yang melanggar kebebasan beragama seseorang, diantaranya mushalla atau masjid tidak boleh pakai pengeras suara, tidak boleh pakai jilbab di tempat umum, kemudian tidak boleh berdagang di hari Minggu, sampai batas tertentu kegiatan gereja berlangsung. [AW]