YOGYAKARTA, (Panjimas.com) – Sekolah Kepemimpinan Bangsa menyelenggarakan Kajian Kepemimpinan dengan tema “Melemahnya Ekonomi Indonesia dan Evaluasi Kinerja Tim Ekonomi Jokowi-JK” pada hari Ahad (30/8) di Auditorium Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
Dalam release yang diterima redaksi panjimas.com Kamis (3/9) panitia mengakatakan acara tersebut diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai lembaga masyarakat dan perguruan tinggi di Indonesia. Kajian Kepemimpinan kali ini menghadirkan Dr. Faisal Basri (Pengamat Ekonomi UI), Denni Purbasari, Ph.D (Pengamat Ekonomi UGM) dan Herry Zudianto, MM (Tokoh Pengusaha Muhammadiyah) sebagai narasumber dan Azhar Nasih Ulwan (Ketua IPM DI Yogyakarta) sebagai moderator.
Faisal Basri mengawali diskusi ini dengan penjelasan mengenai tingginya inflasi Indonesia, “Inflasi Indonesia sebesar 7,3 persen salah satu yang tertinggi di ASEAN. Salah satu penyumbang inflasi terbesar adalah sektor pangan. Selain itu rasio utang kita sekarang meningkat. Saat ini kita tidak dalam kondisi kritis walaupun impor mengalami penurunan sebesar 17,8 persen. Posisi ekspor kita berada pada posisi 89,8 persen sedangkan impor pada posisi 84 persen. Mengapa ekspor anjlok karena harga komoditi minyak sawit, karet, batubara mengalami penurunan”.
“Melambatnya pertumbuhan ekonomi diawali di Kalimantan dengan angka pertumbuhan 1,1 persen, Sumatera 3,5 persen. Selain itu sektor keuangan Indonesia juga lemah. Pemilik rekening bank di Indonesia hanya berjumlah sekitar 36 persen dari jumlah penduduk, bandingkan dengan Malaysia yang berjumlah 80 persen dan Tiongkok sebesar 78,9 persen. Seharusnya kita melakukan konsolidasi antar bank. Hal ini merupakan kesalahan kita sendiri, karena kita tidak mampu melakukan konsolidasi dunia perbankan dan gagal melakukan ekspansi keuangan”, tegas Faisal Basri.
Faisal Basri juga menegaskan bahwa pemerintah harus memperkuat sektor industri untuk menghadapi melemahnya situasi ekonomi, “Industri harus kuat terutama dalam sektor pertanian, pertambangan dan jasa. Berkaca pada kasus tomat, petani hanya bisa menjual sebesar Rp 300 per kilogram, sedangkan harga jual tomat di supermarket bisa menembus Rp 8000 per kilogram, ini pasti ada masalah dalam rantai distribusi. Saat ini biaya logistik dan distribusi mencapai 23 persen dari total biaya ekonomi. Padahal Jokowi seorang industriawan tapi mengapa sektor industri tidak berjalan secara optimal”.
Sementara itu Denni Purbasari memberikan penilaian terhadap kinerja tim Ekonomi Jokowi-JK, “Pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, angka pengangguran, angka kemiskinan dan kebijakan penurunan kuota impor sapi mendapatkan nilai merah. Sedangkan defisit neraca transaksi berjalan, kebijakan visa bebas kunjungan dan kebijakan inpres pengadaan beras mendapatkan nilai hijau”.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,6 persen, harus ada back-up terhadap pertumbuhan ekonomi. Inflasi mendapat skor merah, sehingga pemerintah harus fokus pada penyelesaian masalah. Model populisme ekonomi sudah tidak cocok digunakan saat ini, ekonomi seharusnya tumbuh disertai dengan output produksi. Institusi perekonomian membutuhkan jenderal ekonomi yang kuat”, ungkap ekonom UGM tersebut.
Berkomentar tentang wacana jenderal ekonomi, Denni Purbasari menyatakan, “Jenderal ekonomi memiliki karakter tenang, pemikir, berpendidikan tinggi, konservatif dan teknokrat. Beberapa ekonom yang masuk kualifikasi jenderal ekonomi di masa silam termasuk Widjojo Nitisastro, Frans Seda, Ali Wardhana dan Boediono. Saat ini kita defisit ekonom yang cerdas dan memiliki integritas”.
Pada sesi terakhir, Herry Zudianto menyebutkan bahwa meskipun Indonesia masih kekurangan jumlah wirausaha, para pengusaha belum terlalui diakui keberadaannya oleh pemerintah, “Dalam dunia birokrasi Indonesia, para pengusaha sering mendengar istilah, jika bisa dipersulit mengapa harus dipermudah? Padahal kepastian waktu, ruang dan perizinan menjadi hal yang penting bagi para pengusaha”.
“Meskipun demikian kita harus tetap optimis, masih banyak terdapat celah wiraswasta. Salah satunya adalah melalui industri kreatif seperti industri online. Saat ini kelas menengah mulai tumbuh di Indonesia walau banyak hal yang tidak dilakukan pemerintah kita dalam mendorong pertumbuhan tersebut”, ungkap tokoh pengusaha Muhammadiyah tersebut.
“Tidak ada bisnis tanpa resiko, pemerintah tidak memberikan perhatian terhadap beban riset UMKM. Seharusnya ada riset untuk pengembangan teknologi UMKM, harus ada transformasi dalam pembangunan UMKM di Indonesia”, tegasnya.
Menutup diskusi ini, mantan Walikota Yogyakarta tersebut berkomentar mengenai istilah petugas partai, “Saya risih mendengar istilah petugas partai, seharusnya Jokowi tidak lagi disebut sebagai petugas partai tetapi sebagai Presiden Indonesia, menjadi petugas bangsa Indonesia. Saya tidak tahu siapa jenderal politik Indonesia saat ini, apakah laki-laki atau perempuan? Partai seharusnya sudah ikhlas mewakafkan kadernya untuk bangsa, sehingga seorang Presiden tidak pantas lagi disebut sebagai petugas partai”.