Bogor (Panjimas.com) – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat belum membuat pengusaha tempe di Kota Bogor, Jawa Barat menaikkan harga ataupun mengecilkan ukuran.
Menurut Kasmono, selama 10 hari terakhir sejak rupiah mengalami pelemahan, ongkos produksi tempe menjadi meningkat. Sebelumnya satu kwintalnya seharga Rp680 ribu, kini naik menjadi Rp700 ribu per kwintal. Sehari ia membutuhkan empat kwintal kedelai impor.
“Ongkos produksi otomatis naik, harga kedelai yang biasa beli satu kwintal 680 ribu sekarang sudah 700 san,” kata pria asal Pekalongan tersebut.
Kasmono dan empat anaknya menjadi produsen tempe yang ada di wilayah Cimanggu Barata, Kecamatan Tanah Sareal yang dikenal sebagai sentral produksi tempe rumahan milik masyarakat.
Dari empat kwintal kedelai yang dibelinya, Kasmono mampu memproduksi kurang lebih 1.500 tempe terdiri dari dua ukuran. Tempe yang diproduksi dijual lagi olehnya bersama anak-anaknya di tiga pasar.
“Ya kita masih bisa produksi, tetapi untungnya tipis. Kalau dulu masih ada untung misalnya Rp50 ribu, sekarang jadi Rp25 ribu,” katanya.
Tetapi Kasmono masih bersyukur masyarakat masih mau membeli tempe. Setiap hari 1.500 tempe yang diproduksinya rata-rata laku terjual.
“Daging sudah mahal, ayam juga, kalau tempe ikutan naik nanti masyarakat makan apa. Tempe kan jadi andalannya masyarakat kelas bawah,” kata Kasmono.
Damiri (44) produsen dan pedagang tempe lainnya juga belum berani untuk menaikkan harga tempe. Ia masih menunggu sampai rupiah dapat menguat lagi.
“Kalau sampai rupiah turun lagi jadi 15 ribu, pedagang tempe bisa kelimpungan beli kedelai impor, solusinya yang mogok,” katanya.
Ia berharap pemerintah segera menstabilkan kondisi perekonomian agar kebutuhan pokok masyarakat tidak terus mengalami lonjakan sehingga menyulitkan masyarakat kecil.