SURABAYA, (Panjimas.com) – Komunisme berdadasarkan catatan sejarah dimana saja selalu melakukan pembantaian bahkan korban yang berjatuhan mencapai jutaan, seperti yang terjadi di Uni Soivet.
Di Indonesia sendiri komunisme memberontak pada tahun 1948 dan 1965. Padahal saat itu komunisme di Indonesia ditopang oleh Cina dan Uni Soviet. Indonesia sendiri berdasarkan rekayasa politik yang begitu panjang jika dulu ada gerakan bebas PKI, artinya orang PKI tidak boleh masuk PNS dan lainnya. Berjalannya waktu larangan itu hilang perlahan. Meski secara akademik itu benar karena sampai saat ini para pelaku sudah tidak ada dan mungkin tinggal anak atau cucu mereka. Namun namanya idiologi itu susah dihilangkan.
Tetapi saat itu setelah PKI melakukan pemberontakan pimpinan partai tersebut lantas mengintruksikan ke jaringan dibawahnya dengan tiga pilihan. Pertama, agar PKI dibubarkan, pilihan lain adalah menyusup ke ormas lainnya. Dan yang terakhir ada sebuah intruksi “Suatu saat kita (PKI) akan kembali”. Syarat untuk kembali adalah jika ada gerakan yang meresahkan masyarakat.
Dari tokoh PKI yang tersisa itu kemudian dikirim ke luar negeri yaitu ke negera Yugoslavia untuk dikader dan tidak pulang ke Indonesia karena pecah pemberontakan G 30 S PKI.
“Sekarang ini negara sedang mengalami gonjang-ganjing politiki, PKI dalam hal ini selalu memanfaatkan masa seperti ini. Dalam hal ini semua komponen bangsa biasanya fokus ke kota untuk memikirkan persoalan tersebut. Nah, PKI mengambil kesempatan itu dengan masuk ke desa-desa yang “terlupakan” oleh pejabat-pejabat negara.” Ujar KH Syuhada Bahri Selasa (25/8).
PKI jika diamati sudah perlahan berani menampakkan batang hidungnya. Sel-selnya sudah mulai digerakan melalui seni dan budaya. Yang kedua menurut analisa saya bahwa saat ini orang PKI sedang melalukan test, apakah dengan gerakan PKI ini negara akan bersikap atau tidak.
Sementara itu disatu sisi Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya yang lalu juga memberikan wacana akan meminta maaf terhadap korban HAM berat termasuk para korban PKI.
Sehingga dikalangan TNI angkatan darat mulai resah. Sebab jika itu benar ditetapkan maka yang akan menjadi “tersangka” adalah dua yaitu TNI Angkatan Darat dan Islam. Makanya beberapa jenderal mulai fokus pada persoalan tersebut.
“Maka mewaspadai kebangkitan munculnya gerakan PKI bukan sebuah sikap berlebihan tetapi memang benar adanya” tambah Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
Disisi lain saat umat Islam fokus pada kebangkitan PKI muncul lagi gerakan syiah dan mereka kemungkinan mereka bisa bergabung.
Kedatangan delegasi Partai Komunis Tiongkok ke Indonesia Senin (8/6/2015) beberapa waktu yang lalu juga menjadi perhatian sendiri. Padahal semenjak tahun 1965 hingga tahun 2014 Partai Komunis Tiongkok tidak pernah datang secara resmi ke Indonesia, baru tahun ini partai tersebut kembali datang ke Indonesia.
“Meski dimedia disebutkan kedatangan mereka ditemuai oleh Surya Paloh, tetapi saya tidak yakin hanya bertemu dengan dia pasti juga diagendakan lain untuk menemui pimpinan negara”
Luhut B Panjaitan dalam pertemuannya dengan masyarakat ekonomi pernah mengatakan pendanaan Indonesia saat ini untuk pengadaan infrastruktur itu berasal dari Tiongkok (Cina). Sedangkan perkebunan itu dari Iran.
“Pengiriman besar-besaran warga Tiongkok ke Indonesia juga mulai dirasakan seperti yang terjadi di Banten. Sampai tukang paculnya juga didatangkan dari Tiongkok”
Sedang yang di Cilacap seperti yang disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja kalau mandor dari Tiongkok gajinya sebulan 30 juta tetapi dari Indonesia 3 juta. Artinya para pekerja Tiongkok diharapkan dengan gaji besar bisa membeli rumah yang akhirnya akan menetap di Indonesia.
Solusi umat Islam dalam mensikapi akan kebangkitan komunis, KH Syuhada Bahri memberikan tiga nasihatnya yang pertama adalah bahwa umat Islam harus segera melakukan konsolidasi organasasi. Kedua harus ada langkah edukasi turun kebawah. Kita lebih banyak menunggu umat, mari itu kita balik para ulama harus mau untuk turun kebawah. Dan yang ketiga melakukan advokasi.