SURABAYA, (Panjimas.com) – Persoalan Kampung Pulo telah menyita perhatian masyarakat terlebih sikap aparat dibawah komando Pemrov DKI yang terkesan “arogan” dalam menggusur penduduk yang sudah puluhan tahun tinggal di daerah tersebut hingga memakan korban yang bernama Eko Prasetyo. Kejadian itulah yang membuat Komnas HAM angkat bicara.
Ditemui reporter panjimas.com disela-sela acara Munas IX MUI di Surabaya, Selasa (25/8) anggota Komisioner Komnas HAM Manager Nasution memberikan pendapatnya.
“Sebenernya Komnas HAM sudah membuat pernyataan resmi terkait penggusuran Kampung Pulo. Komnas HAM menyampaikan keprihatinan mendalam atas peristiwa tersebut ditambah perlakuan aparat yang berlebihan.” Ujarnya.
Tak adanya transparasi tata kota menjadikan masyarakat tida mengetahui bahwa rumah yang dipakai itu bermasalah atau tidak. Selain itu masyarakat Kampung Pulo tidak cukup tahu tentang penataan ruang. Padahal terkait Perda semua masyarakat berhak mengetahuinya. Sebeneranya jika masyarakat tahu bahwa mereka tinggal di daerah pengembagan maka mereka tidak akan menempati. Jangan hanya dikaitkan masalah banjir saja.
Jika hanya masalah banjir banyak pengembang perumahan yang memahami namun daerah tesebut tetap saja dibangun. Minimnya sosialisasi adalah awal mula persoalan Kampung Pulo.
“Persoalan Kampung Pulo ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Semua bantaran Kali Ciliwung akan mengalami hal yang sama. Ditambah lagi Gubernur Jakarta yang berhati besi, bertangan besi yang susah dinasehati” tambahnya.
Adanya rumah susun Jatinegara yang dijadikan solusi bagi Pemprov DKI, Manager Nasution kurang sependapat.
“Kalau dari perspektif Komnas HAM bukan tidak bisa seperti itu. Ini masalah kehidupan komunal yang sudah cukup lama dan juga perubahan sosial. Kemudian harus pindah ke tempat yang baru ini butuh proses. Sekali lagi sosilisasi yang kurang yang menjadi awal persoalan”
Sementara itu terkait masalah lain, munculnya program Gubernur DKI tentang pemberian bantuan ke TNI juga disesalkan oleh Komnas HAM.
“TNI sudah menerima tunjangan negara dan itu sudah diatur dalam undang-undang. Mengapa harus masih diberi lagi. Ini bukan dalam kondisi perang yang membutuhkan biaya besar”