Apalagi, perajin tempe di Kabupaten Lebak tidak memiliki lembaga usaha seperti koperasi dan asosiasi yang bisa melindungi mereka.
Para perajin tempe di sini sejak dulu menggunakan kedelai impor dari Argentina dan Amerika Serikat karena pasokan kedelai lokal relatif terbatas, selain kualitasnya di bawah kedelai impor.
Kenaikkan harga kedelai membuat perajin mengeluarkan modal untuk produksi dua kali lipat dari biasanya, semula untuk 60 kilogram kedelai, namun kini menjadi 32 kilogram.
“Kami sangat terpukul dengan kenaikan kedelai karena keuntungan relatif kecil akibat biaya produksi cukup tinggi,” kata Adhari.
Kebanyakan perajin di sini bermodal relatif kecil, sedangkan harga satuan tempe di pasaran tidak naik.
Soleh, seorang perajin tempe warga Kecamatan Malingping Kabupaten Lebak mengaku terpukul oleh kenaikan harga kedelai impor ini yang kian menipiskan modalnya.
“Kami kalau dulu terbantu dari koperasi untuk kebutuhan kedelai, namun saat ini dipasok dari pengecer,” katanya. “Kami memperkecil ukurannya namun harga tetap sama sebesar Rp1.000.”
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disprindag) Kabupaten Lebak, Wawan Ruswandi mengalui 245 perajin tempe di daerahnya terpukul oleh kenaikkan harga kedelai impor.
“Kami akan melaksanakan intervensi melalui subsidi maupun operasi pasar, sebab kenaikkan kedelai impor akibat melemanya nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS,” kata Wawan