SOLO, (Panjimas.com) – Sikap berlebihan yang dilakukan oleh satuan Densus 88 dalam melakukan penangkapan ataupun penggledahan terduga teroris terhadap para wartawan telah menciderai pilar demokrasi. Selain itu dilapangan Densus 88 seakan memiliki kekuatan besar dalam mengontrol pemberitaan.
Padahal profesi wartawan dalam melakukan peliputan juga dilindungi oleh undang-udang pers. Namun ironisnya saat meliput terorisme para wartawan sering dirampas haknya. Tidak hanya dilarang meliput bahkan kadang dibentak-bentak.
Persoalan inilah yang akhirnya membuat banyak wartawan yang jengah dan “malas” meliput aksi terorisme. Keluhan itulah yang akhirnya disampaikan ke Komnas HAM saat meliput investigasi ke keluarga korban penangkapan.
“Terkait pelarangan wartawan dalam peliputan apakah juga menjadi bagian rekomendasi bagi Komnas HAM?” tanya salah seorang wartawan. Ahad (16/8).
Mendengar pertanyaan tersebut komisionaris Komnas HAM Siane Indriani berjanji akan membawa hasil temuan ini untuk dijadikan bahan pertimbangan Komnas HAM.
“Baik nanti akan saya usahakan untuk membawa persoalan ini” ujar Siane Indriani.
Perlakuan yang sering dilakukan Densus 88 kepada wartawan diantaranya adalah dengan mengusir wartawan dari TKP (Tempat Kejadian Perkara) hingga ke radius 100 meter. Jika wartawan nekad mendekat maka tak segan-segan Densus 88 akan membentak-bentak.
Banyak alasan yang kurang logis terkait akan hal itu, diantaranya adalah dari takut akan bocornya penyelidikan ataupun pengembangan kasus. Namun anehnya mengapa wartawan diberi tahu kalau ada penggledahan ataupun penangkapan.
Selain itu dalam hal hasil penggledahan maupun peran dari para terduga teroris selalu satu sumber yakni dari pihak Kepolisian dalam hal ini Densus 88 sehingga para wartawan meski menemukan kejanggalan dilapangan tetap tidak berlaku.