JAKARTA, (Panjimas.com) – Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan awal pelanggaran HAM yang terjadi saat bentrokan di Tolikara, Papua. Untuk menuntaskan kasus tersebut agar Polri menindaklanjuti temuan itu.
Pergantian Kapolda Papua pada Jumat (31/7/2015) dari pejabat lama Irjen Pol Yotje Mende yang memasuki masa pensiun ke pejabat baru Irjen Pol Paulus Waterpauw yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Papua Barat, diharapkan dapat mempercepat penuntasan kasus itu.
“Hasil investigasi Komnas HAM terhadap kasus bentrokan di Tolikara perlu diapresiasi. Berbagai temuan di lapangan dapat dijadikan bahan oleh Polri untuk segera menuntaskan kasus tersebut,” ujar pengamat kepolisian Aqua Dwipayana saat diminta tanggapannya tentang kasus ini pada Senin (10/8/2015). Seperti dilansir detik.
Meskipun Polri menurunkan tim untuk menyelidiki kasus tersebut secara mendalam, bahkan telah menjadikan beberapa orang sebagai tersangka, menurut Aqua tidak ada salahnya hasil temuan Komnas HAM dijadikan tambahan data oleh Polri.
Semakin banyak data di lapangan yang dimiliki Polri terkait dengan kasus tersebut, lanjut mantan wartawan harian Jawa Pos dan Bisnis Indonesia ini, makin baik. Sehingga lebih mudah menyimpulkannya dan menjadikan tersangka orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut.
Seperti diberitakan, penyerangan itu berawal dari surat edaran yang dikeluarkan Badan Pekerja Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Wilayah Tolikara, pada Sabtu, 11 Juli 2015 lalu. Surat tersebut ditandatangani Pendeta Marthen Jingga dan Pendeta Nayus Wenda.
Dalam surat edaran yang isinya kontroversial itu tertuang larangan merayakan Idul Fitri di Karubaga karena bertepatan dengan pelaksanaan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Internasional Pemuda GIDI.
Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikmbo mengakui bahwa surat itu memang ada dan dikeluarkan oleh Ketua Klasis dan Ketua Wilayah GIDI Tolikara. Isi surat tersebut adalah melarang dilakukannya salat Id di lapangan terbuka. Alasannya karena bersamaan waktunya dengan digelarnya ibadah/seminar internasional GIDI di Kabupaten Tolikara. Peserta seminar tak hanya dari wilayah Papua, melainkan dari seluruh Indonesia.
“Memang kami menyadari selaku umat beragama kita tidak bisa melarang orang beribadah, untuk itu kami sarankan agar Salat Id tidak dilaksanakan di lapangan terbuka,” kata Pdt. Dorman Wandikbo, Sabtu (18/7/2015) di Tolikara.
Dalam rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) Kabupaten Tolikara, di Karubaga, Sabtu (18/7/2015) siang, kata Kepala Kepolisian Daerah Papua, Irjen Pol Yotje Mende, Bupati Tolikara, Usman Wanimbo dan Presiden GIDI Pendeta Dorman Wandikbo tidak menyetujui beredarnya surat edaran kontroversial itu. Surat itu adalah inisatif dari Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara.
“Surat itu sudah terlanjur beredar di kalangan peserta KKR, sehingga disalahartikan. Akibatnya terjadi aksi massa pembubaran ratusan umat muslim yang sedang melakukan shalat ied di lapangan Koramil,” ungkap Yotje di Mapolda Papua didampingi Panglima Kodam XVII Cenderawasih, Mayjen Fransen Siahaan usai berkunjung ke Tolikara.
Dalam penyerangan itu 11 orang ditembak aparat keamanan karena tidak mengindahkan perintah anggota polisi dan TNI. Satu orang meninggal dunia, tiga luka parah, dan delapan orang luka ringan. Tujuh korban dievakuasi ke RS DOK II Jayapura dan empat lainnya ke RSUD Wamena.
Selain itu puluhan rumah dan kios, satu mobil, serta satu masjid terbakar. Akibatnya 38 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan barang-barang berharga. Mereka sementara tinggal di tenda-tenda penampungan yang dibangun di halaman Polres dan Koramil.
Sementara itu hasil temuan Komnas HAM menyebutkan fakta adanya pelanggaran HAM yang terjadi saat bentrokan di Tolikara. Bahkan peristiwa itu bisa diilustrasikan sebagai petasan yang siap meledak.
“Jika diilustrasikan, ada sumbu yang menyebabkan petasan meledak. Dalam hal ini ada anatomi pemicu dalam kasus Tolikara yang seharusnya bisa dicegah jauh-jauh hari,” kata komisioner Komnas HAM Prof Hafid Abas, di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhari, Jakarta Pusat, Senin (10/8/2015).
Menurutnya, dalam lingkup makro pada tataran nasional, kasus Tolikara justru menyadarkan kesadaran bangsa yang pluralis dan harmonis. Namun, di lingkup mikro justru pemicu tersebut bisa dimanfaatkan pihak lain sebagai entry poin yang akan muncul di tempat lain.
Menurutnya, banyak peraturan daerah yang diskriminatif dan tidak sejalan dengan toleransi HAM. Bahkan Hafid mencontohkan ada perda di satu daerah yang mengatur penghasilan suami diserahkan langsung ke istri.
“Mudah-mudahan Tolikara menjadi alat refleksi agar perda tidak bertentangan dengan HAM dan tidak hanya mementingkan pembangunan ekonomi saja. Pemerintah daerah seharusnya mengharmonisasikan Perda agar sejalan dengan HAM seperti yang diatur dalam undang-undang,” tambahnya.
Menanggapi hal serupa, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan ada hal yang terabaikan yang seharusnya bisa diungkap, tapi tidak ditindaklanjuti. Ia pun berharap adanya transparansi dari perintah pusat khususnya di Tolikara.
“Dari sinilah seharusnya sudah ada tindakan preventif di mana adanya surat edaran dan perda tersebut yang dikatakan sudah diperbaiki. Namun tidak diketahui di mana surat tersebut bisa mengungkap jelas siapa yang melakukan. Untuk itu perlu adanya kejelasan yang dibuka secara transparan diambil oleh pemerintah pusat maupun daerah,” ujar Nur Kholis.
Untuk itu Komnas HAM mengagendakan untuk mengirimkan satu timnya guna melakukan monitoring lanjutan pasca peristiwa di Tolikara. “Melalui tim monitoring lanjutan dilakukan terkait ketidakjelasan dari benar atau tidaknya peraturan daerah Tolikara yang melarang dan membatasi pengamalan agama tertentu,” tambahnya.
Aqua menambahkan, bentrokan di Tolikara itu sudah hampir sebulan terjadi. Pemerintah telah mengirimkan tim dari berbagai kementerian ke daerah itu untuk memulihkan daerah tersebut. Itu merupakan itikad baik pemerintah pusat yang perlu diapresiasi.
Sedangkan aparat keamanan dibawah kendali Polda Papua, lanjut anggota Tim Pakar Seleksi Menteri detikcom ini, telah memeriksa banyak saksi. Bahkan sudah menetapkan para tersangkanya. Cuma sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya.
“Padahal masyarakat Indonesia dan dunia internasional terus-menerus memonitor perkembangannya. Mereka umumnya mengharapkan penuntasan kasus tersebut secara cepat. Untuk itu perlu keseriusan dan sikap sungguh-sungguh Polda Papua dalam menuntaskan kasus tersebut,” tegas Aqua.
Kepada Polda Papua yang menangani kasus itu kandidat doktor Komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung ini menyarankan agar melakukan penyidikan dan penyelidikan kasus itu secara transparan. Perkembangannya agar disampaikan ke masyarakat lewat media.
“Transparansi itu sangat perlu agar masyarakat tidak merasa kasus tersebut dipetieskan. Apalagi sekarang ini Kapoldanya baru dan asli daerah Papua. Sehingga lebih mudah lagi untuk menuntaskannya sebab tidak ada hambatan psikologis terutama dalam berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait yang berasal dari Papua,” lanjut anggota Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) ini.
Khusus kepada Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw, Aqua menyarankan untuk bersama jajarannya di reserse fokus menangani kasus itu. Hal tersebut sangat penting sebab setelah dilantik jadi Kapolda Papua, masyarakat menaruh harapan besar pada Paulus.
“Di samping itu Kapolri Pak Badrodin Haiti tentunya bersikap yang sama dengan masyarakat. Sebagai atasannya Pak Paulus, beliau berharap agar berbagai kasus yang terjadi di Papua termasuk Tolikara dapat segera dituntaskan. Sehingga keberadaan Polri di provinsi tersebut benar-benar dirasakan masyarakat,” pungkas Aqua.