JAKARTA (Panjimas.com) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI berdasarkan mandat dan kewenangan dalam Pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah melaksanakan pemantauan dan penyelidikan atas Kasus Kerusuhan Tolikara pada Hari Raya Idul Fitri 17 Juli 2015 di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, pada 22 – 25 Juli 2015.
Komnas HAM menemukan setidaknya 4 (empat) dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam peristiwa Kerusuhan Tolikara 17 Juli 2015 berdasarkan hasil penyelidikan Tim Komnas HAM tersebut. (Baca: Komnas HAM Temukan Empat Dugaan Pelanggaran HAM dalam Tragedi Tolikara)
Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan enam poin kepada pemerintah, sebagaimana disampaikan Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa Tolikara Papua, Dr Maneger Nasution, MA dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Kelurahan Menteng, Menteng. Jakarta Pusat, pada Senin (10/8/2015).
Pertama, mendesak seluruh elemen Negara, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua dan Kabupaten Tolikara, maupun pihak kepolisian untuk menjamin ketidakberulangan (guarantees of non-recurrence) peristiwa serupa di Tolikara pada masa yang akan datang;
Kedua, mendesak Negara khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama serta pihak keamanan untuk memastikan adanya jaminan kebebasan beragama di masa yang akan datang di Tolikara sebagaimana dijamin pasal 28 E (1), 28E (2) dan 29 UUD 1945 serta pasal 22 ayat (1) dan (2) UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM serta pasal 18 Komentar Umum 22 ICCPR. Faktanya tidak ada jaminan tertulis bahwa Pemerintah Kabupaten Tolikara akan memperbaiki Perda 2013 yang diskriminatif itu. Di samping itu, pihak GIDI Tolikara juga masih berkeyakinan bahwa Tolikara adalah wilayah GIDI;
Ketiga, mendesak Negara khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten dan DPRD Tolikara) untuk hadir mengharmonisasi Perda 2013 Tolikara agar sesuai dengan perspektif HAM.
Keempat, mendesak Negara, khususnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi Papua dan Kabupaten Tolikara) sebagai penanggung jawab utama perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM untuk menunaikan kewajiban konstitusional dan hukumnya sebagaimana ditegaskan dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan pasal 8 UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM;
Kelima, mendesak Negara khususnya Menkopolhukam untuk memerintahkan Kapolri untuk penegakan hukum dengan menangkap dan mengadili siapapun inisiator dan aktor pelaku dalam peristiwa Tolikara secara adil, terbuka dan mandiri. Negara harus tunduk kepada konstitusi dan hukum. Negara tidak boleh tunduk kepada siapapun, apalagi terhadap aktor non-state.
Keenam, mendesak Negara khususnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi Papua dan Kabupaten Tolikara) untuk membiayai seluruh pengobatan korban tembak, membangun kembali rumah ibadah, kios/sentra ekonomi, rumah warga/properti, recovery fisik dan non fisik pengungsi terutama perempuan dan anak-anak, dan juga melakukan rekonsiliasi untuk keguyuban sosial masyarakat Tolikara supaya masyarakat Tolikara bisa hidup hidup rukun dan harmonis sebagai keluarga besar NKRI. [AW]