JAKARTA, (Panjimas.com) – Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono, mendukung pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kembali dihidupkan alias diberlakukan.
“Kalau menurut saya, menghina presiden itu salah dong. Masa dipilih sendiri, begitu dipilih dan disuruh memimpin, malah dihina-hina? Di seluruh dunia itu, menghina presiden, ada pasalnya,” kata Hendropriyono, di Jakarta, Jumat (7/8). Seperti dilansir antaranews.
Menurut dia, bukan hanya penghinaan terhadap presiden, bahkan seseorang bila dihina orang lain itu maka si penghina selayaknya dihukum.
“Kalau orang dihina orang lain, orang yang menghina harus dihukum. Kalau (penghinaan) kepada presiden, sangat tipis (bedanya) dengan (penghinaan) kepada pribadi,” ujarnya.
Hendropriyono adalah purnawirawan letnan jenderal TNI dari partai politik pendukung Presiden Joko Widodo. Dia juga ayah mertua dari Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Markas Besar TNI, Mayor Jenderal TNI Andhika Perkas.
Ia pun tidak risau dengan anggapan bila pasal penghinaan disahkan akan membungkam pihak-pihak pengkritik presiden.
“Nggak (kuatir). Harus dibedakan antara mengkritik dan menghina. Dan harus jelas dalam UU, perbedaan keduanya,” imbuhnya.
Sementara itu sejarawan JJ Rizal mengatakan pasal penghinaan terhadap presiden merupakan warisan kolonial Belanda sekaligus mencerminkan kebudayaan feodal keraton Jawa.
“Pasal tersebut warisan yang berkolusi membunuh akal sehat dengan membungkam rakyat,” ujarnya, Kamis (6/8). Seperti dilansir republika.
Ironisnya, sambung dia, warisan yang dimusuhi oleh para pendiri bangsa justru diterapkan dan tumbuh dengan sehat, segar dan bugar pada rezim orde baru.
Senada dengan JJ Rizal, Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengungkap sejarah kelam kelahiran pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, pasal tersebut semula bertujuan untuk melindungi Ratu Belanda dari hinaan pribumi saat masa penjajahan Belanda di tanah air puluhan tahun lalu.
“Tapi setelah kita merdeka, dianggap (pasal penghinaan) bisa berlaku untuk presiden. Saya sendiri tidak sependapat dengan hal itu,” kata Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (4/8). Seperti dilansir cnnindonesia.
Perlu diketahui, KUHP yang selama ini digunakan pemerintah Republik Indonesia merupakan warisan era kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732.
WvS Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.
Kala itu pasal penghinaan digunakan untuk melindungi pemerintah kolonial Hindia Belanda dari kritikan atau serangan para pejuang kemerdekaan.
Pada rezim orde baru sampai reformasi, pasal tersebut kerap digunakan pemerintah untuk membungkam para aktivis atau lawan politik yang memberikan kritikan tajam.
Sebelumnya Jokowi mengajukan 786 pasal dalam RUU KUHP ke DPR untuk disetujui menjadi UU KUHP.
Dari ratusan pasal yang diajukan itu, Jokowi menyelipkan satu pasal mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden. Pasal itu sebenarnya sudah dihapuskan Mahkamah Konstitusi sejak 2006.
Pasal tersebut tercantum dalam pasal 263 ayat 1 RUU KUHP, yaitu “Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Pasal selanjutnya semakin memperluas ruang lingkup pasal penghinaan presiden yang tertuang dalam RUU KUHP, seperti dalam pasal 264, yang berbunyi:
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.