MALANG (Panjimas.com) – Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan, saat ini PBNU vakum dari kepemimpinan, bahkan kekosongan pemimpin ini akan terjadi sampai digelar kembali muktamar untuk memilih calon ketua umum yang legal.
“Saya tegaskan sekali lagi bahwa PBNU sekarang ini vakum. Organisasinya memang ada, tapi pemimpinnya tidak ada sampai ada muktamar lagi,” ujarnya kepada wartawan di kediamannya, Kompleks Pondok Pesantren Al-Hikam Malang, Jawa Timur, Kamis.
Hasyim, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), menilai bahwa wilayah dan cabang memiliki hak hukum dan hak memilih untuk menggelar kembali muktamar.
Oleh karena, ia menegaskan, muktamar yang digelar di Jombang dan baru usai itu tidak sesuai aturan, prosedur, serta tidak tertib, bahkan bisa dikatakan cacat hukum karena esensinya prosedur organisasi tidak dilalui secara normal.
Selama vakum kepemimpinan, ia menyatakan, tidak ada tokoh atau siapa pun bisa mengatasnamakan PBNU sampai digelar muktamar ulang yang konstitusional.
Pengurus wilayah atau di bawahnya. menurut Hasyim, tidak perlu khawatir akan terjadi pembekuan maupun perombakan (reshuffle) pengurus wilayah karena saat ini PBNU-nya sendiri vakum.
Hasyim mengemukakan, jika dirinya juga tidak bersedia untuk dicalonkan sebagai Rais Aam dari forum yang diikuti 29 wilayah yang sebenarnya memenuhi kuorum di Pondok Pesantren Tebuireng.
“Kalau saya terima pencalonan itu, NU akan pecah. Begitu juga ketika saya menerima pencalonan dari forum yang digelar di alun-alun karena statusnya cacat hukum. Apakah bisa diakal dua forum mengaku semua kuorum? Ini bagaimana?” kata pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam tersebut.
Meski ada 29 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) yang keluar dari muktamar di alun-alun Jombang dan bergabung ke kubu Salahuddin Wahid di Tebuireng, Hasyim Muzadi membantah bahwa NU pecah, sebab tidak ada muktamar tandingan atau NU tandingan.
Yang terjadi, menurut dia, adalah gerakan pemurnian NU dari penyusupan ideologi atau aliran pemikiran yang merusak keimanan dan perilaku petualang (adventurer) para politisi.
“Gerakan pemurnian ini akan menjadi arus besar di dalam NU karena seluruh wilayah dan cabang menyaksikan sendiri bagaimana selama proses muktamar, muktamirin diperlakukan semena-mena mulai dari sulitnya pendaftaran, rekayasa persidangan, dan perlakuan kasar terhadap para ulama dan kiai,” ujarnya.
Ia menimpali, “Hikmahnya adalah semua warga NU bisa mengetahui betapa bahayanya penyusupan yang dilakukan secara komprehensif.”
Hasyim mengemukakan bahwa dirinya juga memberikan apresiasi atas mundurnya atau penolakan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) saat dicalonkan sebagai Rais Aam PBNU, karena menunjukkan dirinya tidak ingin menjabat dari sebuah proses abal-abal.
Dia pun mengungkapkan kekecewaannya karena selama proses Muktamar NU yang dinilai tidak sesuai dengan aturan organisasi.
“Dengan kondisi seperti sekarang ini, wilayah dan cabang NU memiliki kewajiban untuk segera mengadakan muktamar ulang yang konstitusional,” demikian KH Hasyim Muzadi. [AW/Antara]