JAKARTA, (Panjimas.com) – Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali berharap Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang menjadi ajang pemersatu para tokoh dan semua kader NU dalam rangka menyongsong satu abad organisasi ulama ini.
Demikian disampaikannya di Jakarta, Kamis (30/7) kemarin menjelang keberangkatannya ke Jombang.
“Muktamar kali ini harus menjadi muktamar persatuan. Jangan sampai muktamar Jombang ini malah menyebabkan NU pecah. Muktamar Jombang harus menjadi momentum nahdloh tsaniyah (kebangkitan kedua),” katanya. Seperti dilansir dari laman nu.
Pernyataan disampaikan terkait suasana gelisah menjelang pelaksanaan Muktamar, 1-5 Agustus besok. Hingga saat ini para muktamirin atau peserta muktamar dari PWNU dan PCNU seluruh Indonesia belum menyepakati model pemilihan yang akan diterapkan dalam muktamar.
Ia meminta pihak-pihak yang terlibat dalam suksesi pemilihan pemimpin baru NU untuk mengedepankan semangat persatuan. “Jangan sampai di Muktamar Jombang malah ada perpecahan di NU, seperti terjadi di partai politik atau PSSI,” kata alumni Pesantren Krapyak Yogyakarta ini.
As’ad yang belakangan menyatakan siap maju sebagai calon ketua umum PBNU berharap, Muktamar Jombang membicarakan langkah-langkah strategis menyongsong peringatan 100 tahun NU.
“Muktamar harus dilandasi semangat menyambut satu abad NU. Organisasi NU adalah organisasi kemasyarakatan yang sangat kuat memegang tawasuth (moderat), tawazun (proporsional) dan tasamuh (toleran),” katanya.
Menurut As’ad NU dianggap paling cocok untuk mengatasi berbagai persoalan keagamaan yang berkembang. Tahun 2014 lalu bahkan warga Musilim di Afganistan mendeklarasikan berdirinya organisasi NU Afganistan atau NUA dengan format yang mirip dengan NU yang ada di Indonesia.
Menurut As’ad, NU akan tetap menjadi ormas Islam yang besar, bersih dan berwibawa, serta rahmatan lil alamin. Meski demikian penataan dan konsolidasi organisasi perlu terus dilakukan di lingkungan internal NU menghadapi berbagai tantangan dan perubahan.
Ditambahkan, pada usia menjelang 100 tahun NU dihadapkan dengan beberapa perkembangan. Antara lain, warga NU sudah tersebar tidak hanya terkonsentrasi di desa tetapi juga di kota-kota besar di Indonesia.
Selain itu, generasi NU sudah tidak didominasi oleh para ahli agama Islam. “Kita sekarang punya kekuatan baru yakni kalangan pebisnis, birokrat, akademisi, politisi dan kaum profesional. Semua ingin bergabung menguatkan NU tapi tidak tahu jalannya. Ini perlu kita pikirkan, kalau tidak kader kita ini akan diambil orang lain,” katanya.